Dia adalah manusia paling menyebalkan di muka bumi. Spesies langka yang benar-benar ingin aku musnahkan namun tak bisa karena aku terlalu sayang. Mengesalkan, bodoh, naif, terlalu baik, itulah dia bagiku. Begitu banyak kesempatan untuknya melarikan diri dari keadaan menjebak itu, tapi kenaifannya membuat dia menjadi sosok yang lalai, setidaknya di mataku.
Bagaimana ya, jujur aku malu mengakui ini mengingat apa yang kurasakan berbanding terbalik dengan prinsip yang aku pegang. Aku terlalu mengagungkan logika sampai lupa bahwa urusan hati tidak selamanya bisa ditangani dengan buah pikiran atau logika secanggih apapun sistemnya. Aku terperangkap dalam janjiku, terpaksa menelan sari pati kepahitan dalam jalinan persahabatan yang kami rajut bersama.
Banyak orang mewanti-wanti agar aku berhati-hati, awas jatuh hati, begitu kata mereka. Awalnya tidak pernah aku gubris karena memang tidak ada pemikiran semacam itu dalam benakku. Membayangkannya saja tidak pernah dan aku tidak mampu karena itu terlalu konyol. Menggelikan sekali. Aku menertawakan kekhawatiran orang-orang atas kemungkinan aneh yang mereka tudingkan. Rasanya seperti mendengar lelucon pamungkas dari sang raja kelakar. Terlalu mengocok perut, menarik kuat urat pipiku, dan membuatku ingin menangis terpingkal-pingkal saking lucunya. Dan mungkin akan muncul peribahasa senjata makan tuan jika saja mereka tahu perasaanku sekarang.
Aku terlalu sombong karena merasa memiliki kendali penuh atas hatiku. Kala itu kepongahan membuatku begitu yakin bahwa aku bisa menentukan arah hati. Aku bisa memilih perasaan mana yang boleh dan tidak boleh dirasakan hatiku. Sudah kusegmentasikan semuanya dengan baik. Ada batas dan sekat yang kubuat dengan sangat jelas agar aku ataupun dia tetap bisa membersamakan diri tanpa melewati batas dan sekat itu. Dia berhasil melakukannya, sukses menjaga hati hanya untuk pertemanan. Sementara aku gagal, aku dikhianati perasaanku sendiri. Logika yang sudah kubangun dengan kokoh seketika roboh oleh rasa nyaman dari kebersamaan dan rahasia waktu yang selalu memberi kejutan.
Serta merta perasaan itu datang, menyapa nurani dan menghanyutkan diri. Debar jantungku menyuarakan nada yang berbeda saat bersamanya. Aku tahu dengan pasti bahwa itu bukan perasaan yang biasa dirasakan seorang sahabat pada sahabatnya sendiri. Sejak perasaan itu datang, berulang kali aku mengelak. Mengerahkan kemampuan untuk tidak menyambutnya dengan harapan dia bisa pergi tanpa menyisakan jejak menyesatkan. Membentang jarak, menipiskan pertemuan, menyibukkan diri, semua sudah aku lalui untuk mematikan rasa yang tidak seharusnya. Jujur aku kepayahan sampai akhirnya dengan berat hati aku akui bahwa aku sudah kalah. Perasaan itu tak kunjung mati sekalipun sudah kubunuh setiap hari.
Tak ada cara lain untuk menghadapi kondisi ini selain aku harus menjalaninya walau sakit. Sempat terbesit untuk membuat pengakuan namun sekali lagi waktu memberi kejutan. Dia tidak ingin berkawan dan justru menjadikanku lawan. Dia hadirkan seseorang yang sedikit demi sedikit menyisihkanku dari hierarki prioritas orang itu. Aku bukan lagi satu-satunya melainkan menjadi salah satunya. Salah satu alasan kebahagiaan orang itu dengan kadar yang tidak seberapa dibandingkan si pendatang baru.
Sejak saat itu aku kehilangan semua kesempatan untuk mengubah rasaku menjadi kata yang bisa dia dengar. Sudah terlambat, perjuanganku terhenti bahkan sebelum aku memulainya. Yang tersisa kini hanyalah sebuah penyesalan. Sesal untuk lalaiku karena terlalu banyak membuang waktu. Terlalu sibuk memerangi kenyataan. Sehingga akhirnya kenyataan menendangku jauh dari harapan yang mulai ingin aku wujudkan. Sayangnya, aku harus puas dengan melihat asaku membuih sebagai angan yang berakhir menjadi kenangan. Sudah cukup, sampai di sini saja. Jangan membuatku mengingat masa itu karena setelah ini aku masih harus menghadapinya yang sedang berbahagia dan itu bukan denganku. Hhh, berbahagialah bucin kesayanganku.
***
Pria itu menghampirinya dengan senyum manis. Pakaian putih yang digulung kedua lengannya sampai sikut, dilengkapi apron berwarna senada masih melekat pada tubuhnya. Ah, angin segar menerpa sembari membawa segala aroma surga yang bisa memabukkan semua orang. Dia mempesona, sangat menggiurkan serupa makanan lezat yang selalu dihidangkannya.