"Ayah tidak mau tahu, pokoknya kamu harus menikah dengan pak Bondo. Dia sudah bersedia memberikan mas kawin fantastis untukmu So Eun. hutang-hutang keluar kita akan dia lunasi kalau kamu mau jadi istri ketiganya."
"Aku enggak mau, Yah. Sudah berapa kali aku bilang, aku enggak akan pernah pulang kampung untuk menuruti semua keinginan ayah. Aku punya mimpi dan cita-cita, aku tidak ingin dijadikan gundik oleh lelaki yang hobi kawin itu!"
Pertengkaran terjadi sangat sengit sore itu. Meskipun sepasang ayah dan anak itu berdebat jarak jauh melalui sambungan telepon, namun emosi yang tercipta di sana sungguh terasa nyata. Dada So Eun sesak dan deru napasnya jadi tidak teratur. Dia baru pulang kuliah, lelah masih menyelimuti setiap sendi di tubuhnya. Belum lagi, tadi dia kembali dipanggil oleh pihak keuangan perihal biaya kuliah. Semesta seakan tahu betul bahwa ini adalah saat yang tepat untuk So Eun meledakkan emosi selepas-lepasnya. Tuhan mengutus sang ayah untuk menyampaikan kabar yang sekali lagi membuat gadis itu menjerit frustrasi.
Tidak ada angin tidak ada hujan, tanpa tedeng aling ayahnya tiba-tiba menyuruh So Eun pulang kampung dan menikah dengan renternir yang selama ini selalu meminjamkan uang pada keluarga mereka. Memang betul, tawaran yang disuguhkan sangat menggiurkan. So Eun dijanjikan akan dibuatkan rumah megah di kampung halamannya, semua kebutuhan So Eun dan keluarga akan dijamin penuh, dan yang terpenting adalah semua hutang sang ayah pada pak Bando akan dianggap lunas.
Sungguh, So Eun tidak tahu lagi harus berkata apa. Dia bahkan bingung, sebenarnya Tuhan menciptakan hati ayahnya dari apa? Kenapa orang itu benar-benar tidak memiliki hati? Anak sendiri tega dijual hanya demi melunasi hutang. Memang masalah ekonomi bisa membuat manusia jadi hilang akal dan buas melebihi binatang.
"Alah ... mimpi dan cita-cita apa yang mau kamu kejar, hah? Yang kamu lakukan sekarang Cuma buang-buang waktu dan uang. Coba bayangkan, sudah berapa banyak uang yang kamu keluarkan untuk kuliah? Seharusnya kalau kamu mau kerja ya fokus kerja saja, cari uang yang banyak dan bahagiakan keluargamu. Ayah membiarkanmu ke kota untuk cari uang dan memperaiki taraf ekonomi keluarga kita, bukan untuk belajar hal tidak penting seperti ini!"
Air mata So Eun menetes mendengar ucapan ayahnya, dadanya kembang kempis. Ingin rasanya ia teriak namun tidak enak hati, takut tetangga kosnya terganggu dan menggegerkan tempat itu.
"Apa ayah enggak malu mengatakan hal semacam itu sama aku? Ayah sama sekali tidak pernah berpikir bahwa apa yang aku perjuangkan sekarang sebenarnya adalah tanggung jawab ayah sebagai kepala keluarga? Aku berhak mendapat kehidupan yang layak, aku punya hak untuk mendapat pendidikan yang baik, aku punya hak untuk hidup bahagia dan seharusnya semua itu kudapatkan dari ayah!"
"Jangan kurang ajar kamu sama orang tua. Kamu pikir kamu bisa hidup sampai usia sekarang berkat siapa, hah? Kalau ayah tidak merawatmu dulu apa kamu bisa tumbuh besar seperti sekarang? Jangan sombong mentang-mentang kamu bisa cari uang sendiri. Dasar anak tidak tahu diuntung!"
"Ayah yang tidak tahu diuntung! Laki-laki macam apa yang kerjanya hanya bisa menjadi benalu di keluarganya. Ayah tidak bajingan! Ayah jahat! Aku benci sama ayah!"
"Anak sialan! Berani kamu mencaci ayahmu sendiri. Ingat ya So Eun, meskipun sekarang kamu jauh dari ayah bukan berarti ayah tidak bisa memberikan pelajaran padamu. Ibumu akan menanggung semua tindakan kurng ajarmu itu. Dasar anak setan!"
"Arghhh!!!" ibu So Eun berteriak kesakitan, entah apa yang laki-laki itu lakukan.
"Sakittt arghh!" teriak ibu So Eun lagi.
"IBUUU!" pekik So Eun, lalu matanya pun terbuka, dia mengedarkan pandangan ke arah sekitar dan dari sana dia akhirnya sadar bahwa apa yang terjadi tadi hanyalah sebuah mimpi.