First Day

31.4K 1.6K 65
                                    

Empat bulan kemudian

Empat bulan belakangan terasa seperti di neraka. Drew menikahi pacarnya. Wajah glowing pengantin barunya membuatku muak. Itu jadi pemantik terakhir yang membuatku semakin getol mencari pekerjaan baru.

Setelah melewati proses interview di banyak tempat, akhirnya aku berlabuh di Creativa. Agensi periklanan yang baru berdiri. Karyawannya masih sedikit. Namun mereka sangat menjanjikan. Aku mendapat kesan positif saat interview, sehingga ketika headhunter memberikan penawaran ini, aku menerimanya.

Pindah dari korporat besar ke perusahaan kecil tentu menjadi tantangan baru. Sebagai senior HR, kini aku harus menjalankan divisi itu seorang diri, dengan satu orang staf GA yang jadi bawahanku.

Sehari menjelang hari pertama di kantor baru, aku dilanda psikosomatis. Perutku mual luar biasa. Pun paginya, aku ragu apakah pindah adalah pilihan yang tepat?

"Semangat dong. Kali aja ada yang ganteng di kantor baru lo," ujar Nava.

Pat menimpali. "Lo butuh asupan yang ganteng-ganteng."

"Si Ganteng terakhir lo lepeh gitu aja. Empat bulan ini lo cuma bisa mupeng doang ngebayangin kontol dia." Nava terkikik.

Aku melempar Nava dengan tisu bekas. Seharusnya aku enggak bercerita soal petualanganku dan Oslo. Namun mereka menyudutkanku ketika aku sampai di vila keesokan harinya, setelah bermalam di tempat Oslo.

Free ride to O-town with Oslo nyatanya berbekas sampai keesokan harinya. Sekali lihat, Nava dan Pat langsung menebak apa yang terjadi. Mereka enggak melepaskanku, sampai aku terpaksa bercerita soal betapa perkasanya Oslo.

Dan empat bulan setelahnya, mereka tak henti-hentinya mengejekku soal Oslo.

Aku enggak akan sekesal itu kalau ejekan mereka salah alamat. Masalahnya, ledekan itu sangat tepat sasaran. Aku tidak bisa melupakan Oslo. Sepulang dari Bali, aku tidak bisa tidur nyenyak karena begitu memejamkan mata, aku terbayang penis Oslo yang menantang. Berkali-kali aku terbangun bersimbah keringat akibat mimpi erotis yang melibatkan aku dan Oslo.

Aku sampai meminjam koleksi film porno Nava untuk meluapkan hasratku. Hasilnya nihil.

Terbukti, one night stand tidak untuk semua orang. Karena aku jelas tidak bisa melupakan Oslo.

"Rasanya nempel banget ya sampai susah lupa," ledek Pat.

Pagi ini, aku enggak mau mendengarkan ledekan dalam bentuk apa pun.

"Gue doain deh ada eye candy di kantor lo. Jadi bisa lo pepetin. Kali aja bisa bikin lo berhenti ngebayangin Oslo. Enggak capek apa self service sambil bayangin Oslo mulu?" Nava terkekeh.

Aku mencibir. Lagi-lagi, tidak bisa menghindar. Nava pernah memergokiku tengah masturbasi sambil memutar ulang hubungan seks paling panas yang pernah terjadi di hidupku.

"Jangan asal pilih karena kepepet, Babe." Nava menepuk pundakku.

"Susah kalau bandingannya lokal punya. Lo mending cari Arab atau BBC juga."

Aku hanya bisa mencibir ketika Pat dan Nava bersorak norak.

"Ingetin gue, kenapa gue bisa temenan sama kalian?"

Nava merangkulku. "Justru lo harus berterima kasih temenan sama kita, jadi ikutan waras."

Aku memang berterima kasih berteman dengan mereka meski aku harus sering mempertanyakan kewarasanku.

Aku mengambil tas dan beranjak dari ruang makan yang jadi common room di rumah ini. Awalnya aku ngekos, Nava dan Pat juga. Nava menemukan rumah di daerah Cipete yang cukup besar. Ada tiga kamar di sana, jadi kami putuskan untuk menyewa bareng. Co-living bareng mereka adalah keputusan terbaik yang kuambil.

Kami berteman sejak SMA. Meski berkuliah di tempat berbeda, tidak mengurangi keakraban di antara kami. Meski sekarang tinggal bareng, interaksi di antara kami juga minim karena masing-masing sibuk bekerja.

Ada yang beruntung dilahirkan di tengah kehangatan keluarga. Untuk orang sepertiku, yang lahir dalam keluarga disfungsional, memaksaku mencari keluarga dalam bentuk lain. Dalam hal ini, Nava dan Pat.

Aku sampai tepat waktu di kantor yang menempati lantai 27 Wework Revenue Tower SCBD itu. Aku melangkah gugup menuju ruangan Creativa. Semoga hari pertamaku baik-baik saja.

"Miranti."

Aku berbalik dan berhadapan dengan Pak Stevie. Dia Creative Director Creativa. Waktu pertama bertemu saat wawancara, aku terpana karena kegantengannya. Sayang, dia bukan tipeku.

Lagi, aku membandingkan Pak Stevie dan Oslo meski aku tidak tahu apa hubungannya dengan mereka.

Nava dan Pat akan melongo kalau bertemu Pak Stevie.

"Welcome." Dia menjabat tanganku erat. "Terima kasih sudah mau bergabung."

"Terima kasih juga kesempatannya, Pak."

Pak Stevie membawaku masuk dan memperkenalkanku pada karyawannya. Ada Nina, anak kreatif yang langsung menyambutku dengan heboh. Dia mengingatkanku pada Nava dan Pat. Aku punya firasat positif dengan Nina. Juga ada Reggy, aku pernah bertemu dengannya saat dia menemani Pak Stevie sewaktu mewawancaraiku.

"Jadi, seperti yang lo tahu, ini masih perusahaan kecil. Kami butuh kamu karena sekarang sudah banyak karyawan di sini dan kami rasa memakai jasa pihak ketiga enggak cukup lagi." Pak Stevie mengajakku ke meja lain yang baru diisi satu orang. "Ini Sari, finance di sini. Nanti lo bakalan sering kerja bareng Sari."

Perempuan berwajah teduh itu tersenyum dan menyambutku dengan hangat.

"Nanti ada Raisa. Dia staf GA. Baru bergabung minggu depan. Dia akan jadi staf lo."

Aku mengangguk. Hal ini sudah dijelaskan saat aku menerima offering. Meski begitu, saat mendengarnya lagi, perutku kembali mulas.

"Buat job desc lengkapnya nanti dibahas kalau partner gue udah dateng. Biar sekalian. In the mean time, Reggy bakal bantuin buat setting akun dan email kantor. Gue tinggal, ya." Pak Stevie meninggalkanku yang masih mulas.

Untung saja teman kerjaku sangat welcome. Sebagai first hire Creativa, Reggy sangat paham soal perusahaan ini. Dia memberitahu banyak hal sehingga aku sedikit mengerti. Setidaknya, rasa mulas itu berkurang.

Pak Stevie mengirimkan undangan meeting untuk sehabis makan siang. Ini pengalaman pertamaku bekerja di coworking space. Setiap perusahaan menempati satu ruangan, tapi ada common area yang dipakai bersama perusahaan lain. Termasuk ruang meeting.

Pak Stevie sudah menunggu di ruang meeting. Aku sedikit terlambat karena harus mencari ruangan ini. Pak Stevie tidak sendiri. Duduk membelakangi pintu, aku merasa familiar dengan sosok ini.

"Welcome, Miranti." Pak Stevie memintaku duduk di kursi kosong.

"Lo, ini Miranti, HR baru kita."

Aku memasang senyum profesional untuk memperkenalkan diri. Namun, senyum itu langsung lenyap setelah tahu siapa rekan kerja sekaligus yang menjadi bos besar di perusahaan ini.

None other than Oslo.

Pasangan one night stand-ku empat bulan lalu.

Oslo juga menyadari siapa aku, kalau dilihat dari matanya yang membola saat melihatku.

Yes, Baby! (Buku Kedua dari Yes Series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang