"Permisi." Aku menahan pintu lift yang hampir tertutup hingga kembali terbuka. Senyumku langsung terkembang begitu melihat siapa yang berada di dalam lift.
Berbanding terbalik denganku, Oslo memasang wajah masam.
"Pagi, Mas," sapaku riang, yang hanya ditanggapi Oslo dengan dengungan singkat. "Masih pagi udah masam aja itu muka. Nanti gantengnya hilang, lho."
Oslo membungkamku dengan tatapan tajam siap membunuh, tapi malah membuatku terkekeh.
Di balik upayanya bersikap dingin dan menyebalkan itu, yang ada malah membuatku makin bersemangat menggodanya.
"By the way, aku jadi ingat. Waktu di Bali aku ninggalin bandana. Masih disimpan enggak?" Tanyaku.
"Udah gue bakar," timpal Oslo, yang kembali mengundang tawaku.
"Aw, you're so cute," ujarku.
Oslo kembali melemparkan tatapan dingin yang menusuk. Kalau saja aku belum pernah bertemu dengannya sebelum bekerja di kantor ini, aku mungkin sudah mengkeret ketakutan saat mendapat tatapan sedingin itu. Namun, aku sudah pernah berhadapan dengan sisi lain Oslo, sehingga sikap dingin yang ditampilkannya malah membuatnya jadi menggemaskan.
"Speaking of Bali, enggak nyangka deh kita bakal ketemu lagi. Sumpah, aku enggak stalking, ya. Aku apply ke sini karena dideketin head hunter. Enggak tahu kalau ini kantornya Mas Oslo," ujarku panjang lebar.
Kalau Oslo sempat terpikir aku sengaja bekerja di sini karena dia, artinya dia salah. Aku sama kagetnya dengan dia sewaktu bertemu lagi dengannya kemarin.
"Tapi, aku sih enggak keberatan mengulangi yang di Bali." Aku terkikik.
Pintu lift terbuka. Alih-alih keluar lift, Oslo malah mendekat ke arahku. Dia berdiri di hadapanku, begitu menjulang dan mengintimidasi, membuatku terdorong ke dinding lift.
"Gue enggak mau dengar omongan apa pun soal Bali. Itu enggak ada artinya. Lo di sini buat kerja, jadi ngomong seperlunya aja." Oslo berkata tegas dan menusuk.
Berada sedekat ini membuat pikiranku sulit mencerna ucapannya, sehingga yang bisa kulakukan hanya menyengir seperti orang bodoh.
Aku tidak takut dengan ancaman Oslo. Ancaman itu tak lebih dari sekadar gertak sambal. Sebab, ekspresi muka dan tatapannya memberikan arti lebih. Kilat di matanya membuatku yakin bahwa Oslo mengingat malam panas yang dilewatkannya bersamaku di Bali.
Oslo versi Jakarta sangat berbeda dengan Oslo versi Bali. Di Bali, dia terlihat menderita dan rapuh. Aku yakin seks malam itu menjadi senjatanya untuk melupakan semua masalah yang menimpanya.
Sedangkan Oslo yang kutemukan di Jakarta selalu memasang wajah dingin dan masam. Seakan semua orang membuatnya kesal dan enggak segan-segan mengajak siapa pun berantem. Bagiku, itu hanya fasad yang sengaja dipasang untuk menyembunyikan isi hatinya.
Oslo pernah menyinggung soal perceraiannya. Juga perselingkuhan yang dilakukannya sehingga perceraian itu terjadi. Namun, aku yakin masalahnya tidak sesederhana itu. Selama di Bali, Oslo tidak memasang fasad ini. Namun di Jakarta, ada benteng tinggi yang menghalangi siapa pun untuk melongok ke dalam dirinya.
Aku jadi semakin bersemangat ingin merubuhkan benteng itu.
"Mas Oslo," panggilku.
Oslo menoleh sekilas. "Apa lagi?" Hardiknya.
"Aku cuma mau nanya, meeting pagi ini jadi, kan?"
Oslo mendengkus kesal lalu mengangguk, membuatku kesulitan menahan tawa saat melihat tingkahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Baby! (Buku Kedua dari Yes Series)
RomanceSetelah bercerai, Oslo memutuskan untuk tidak pernah terlibat dengan perempuan dan fokus pada advertising agency yang baru dirintisnya. Janji tersebut buyar karena kehadiran Miranti, karyawan baru yang langsung mengusik Oslo sejak hari pertama. Mira...