Aturan Konyol

25.2K 1.6K 41
                                    

Langkahku terhenti di pintu coffee shop saat melihat sosok yang belakangan sangat familiar bagiku. Meski dia membelakangiku, aku langsung mengenali siapa dia hanya dari punggungnya.

Ini jadi bukti betapa dia sudah menginvansi benakku semenjak aku bekerja di Creativa.

No, sejak aku bertemu dengannya di Bali.

Mimi yang biasa akan langsung putar arah. Namun, aku sudah muak dengan sosok Mimi yang permisif. Aku menyukai versi baru diriku. Mimi yang impulsif. Bertindak dulu, berpikir belakangan.

Sekarang yang ingin kulakukan adalah memasuki coffee shop ini dan menghampirinya.

"Pagi, Mas. Enggak nyangka ketemu di sini." Aku sengaja menyikut Oslo.

Oslo melirikku sekilas dan wajahnya berubah masam, membuatku kesulitan menahan tawa.

"Aku tiap hari mampir beli kopi ke sini, kenapa kita enggak pernah ketemu sebelumnya?" Aku bersandar ke konter untuk menghadapnya.

"Besok-besok gue beli kopi di tempat lain aja," gerutunya pelan tapi masih bisa ditangkap oleh telingaku.

Aku menusuk lengannya dan langsung tersentak saat menyadari betapa kerasnya otot lengannya.

"Ugh, you should try his coffee. It's to die for." Aku melambai ke arah Dani, barista yang sudah mengenalku. Aku enggak bohong. Aku selalu mampir ke sini di perjalanan menuju kantor untuk memenuhi asupan kopi harian. "Dan, biasa ya. Tapi yang bayar dia." Aku menunjuk Oslo.

"Bayar sendiri," gerutunya.

Aku beringsut mendekatinya. "But, you're my daddy." Aku sengaja menggunakan nada yang dibuat seimut mungkin sambil mengerjapkan mata berkali-kali.

Oslo meringis. "You wish."

Aku tertawa. Menggoda Oslo ternyata menyenangkan. Aku makin bersemangat mengganggunya.

Tawaku semakin keras ketika Oslo membayar kopi pesanannya, sekaligus kopi milikku.

"Katanya enggak mau bayarin?" Godaku.

"Bawel," tukasnya.

Oslo beranjak ke pick up counter dan aku mengikut di belakangnya.

"Thank you, Daddy." Aku sengaja menyikut lengannya.

Oslo tidak menjawab, hanya menatapku dengan tatapan menyipit tajam. Kalau saja aku tidak bertemu dengannya di Bali, aku akan mengkeret ketakutan saat melihat ekspresi dingin ini. Dia punya wajah tegas yang terlihat semakin bengis jika tanpa ekspresi seperti ini.

Itulah yang membuatku bertanya-tanya, apa yang membuatnya begitu rapuh saat di Bali?

Dani menyodorkan kopi pesananku dan Oslo. Tanpa suara, Oslo menyambar kopi miliknya dan mendahuluiku.

Kantorku sudah dekat. Biasanya aku tinggal jalan kaki. Namun, saat di parkiran, Oslo malah mengagetkanku.

"Ayo masuk. Lo mau telat sampai kantor?"

Selama beberapa detik, aku malah terbengong. Oslo menawarkan tumpangan ke kantoe? Aku bahkan tidak menggodanya untuk meminta tebengan.

"Mau bengong sampai kapan, Mi?" Gerutunya.

Buru-buru aku berlari menuju mobilnya. Ioniq5 yang membuatku meneteskan air liur. Nava bilang, itu mobil ganteng. Aku setuju. Cocok dengan Oslo yang juga ganteng.

Aku sengaja menepuk jok. "Jadi gini rasanya naik mobil seharga rumah?"

Oslo tidak bersuara, tapi dari sudut mata aku melihat dia tertawa tipis.

"Makasih, lho. Kirain aku bakal ditinggalin sendiri," ujarku lagi.

"Who do you think I am? Jangan mikir macam-macam. Kalau ada anak kantor lain, mereka juga bakal dikasih tumpangan," balasnya.

Yes, Baby! (Buku Kedua dari Yes Series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang