Mimi
"Lunch?"
Aku mengulum senyum. Tak biasa-biasanya Oslo menghampiri ke mejaku. Setiap kali desk visit hanya untuk memberikan atau menagih pekerjaan.
Jadi tidak heran kalau aku sempat bengong selama beberapa saat. Sampai Oslo menjentikkan jarinya dan membuatku terkesiap seperti orang yang baru saja lepas dari hipnotis.
"Oke."
Alih-alih beranjak, Oslo masih berdiri di sampingku. Aku kembali menoleh untuk menghadapnya.
"Apa?"
Oslo menunjuk jam tangannya. "Sudah jam makan siang."
Pekerjaan yang menumpuk membuatku lupa waktu. Sampai tidak sadar kalau sudah masuk jam makan siang. Pantas kantor sepi. Setiap jam makan siang adalah blood bath jadi banyak yang pergi membeli makan siang sebelum pukul dua belas untuk menghindari antrean.
Aku menutup laptop dan mengambil pouch berisi dompet serta handphone. Oslo sudah menunggu di dekat pintu.
"Buru-buru amat," ledekku.
"Lapar, Mi."
Aku menyadari kalau Oslo bisa berubah jadi banshee tiap kali kelaparan.
Berjalan bersisian dengan Oslo di lokasi kantor merupakan hal baru. Mau tidak mau, mataku jadi lebih awas. Bukan karena malu ketahuan bersama Oslo, aku hanya tidak mau menimbulkan gosip kantor.
Kecuali kalau hubunganku dan Oslo sudah jelas.
Aku segera mengusir pemikiran itu. Kenapa dari hari ke hari aku malah memupuk ide bahwa aku dan Oslo bisa memberi label dalam hubungan ini?
"Makan di mana, Lo?"
Aku refleks mengambil jarak beberapa langkah dari Oslo ketika mendengar suara Stevie. Namun sia-sia karena hanya ada aku dan Oslo menunggu lift.
"Pacific Place."
"Sama Mimi?" Tanya Stevie dengan binar usil di matanya.
Begitu juga dengan Nina yang terang-terangan menatapku. Aku yakin Nina akan segera menginterogasiku setelah ini.
"Lo bukannya mau pulang cepat?" Oslo balik bertanya, tidak menghiraukan pertanyaan Stevie.
"Imi mau balik."
Ada rasa iri di hatiku saat melihat Stevie merangkul Nina dengan penuh sayang ketika melangkah ke dalam lift.
"Nina mau USG." Stevie tidak bisa menahan binar bahagia di matanya.
"Congrats," timpaku.
Tanpa sadar aku menatap Oslo. Meski dia tersenyum, matanya memancarkan hal lain. Ada binar kesedihan di sana, meski Oslo segera menguasai diri dan mengubah ekspresi wajahnya secepat kilat.
Situasi Oslo berbeda dengan Stevie. Pengakuannya membuatku yakin Oslo akan bereaksi sama seperti Stevie jika dia berada di posisi yang sama.
Bahkan lebih.
Di balik sikap ala fuckboy, Oslo tak lebih dari seorang hopelnss romantic yang percaya bahwa cinta adalah segalanya.
"You'll be fine," bisikku setelah berpisah dengan Stevie dan Nina di lobi.
Oslo melirikku dengan kening berkerut.
"Next time, kamu bakal nemenin calon ibu dari anakmu saat USG," lanjutku.
Oslo tidak menjawab, dan aku cukup paham dia tidak ingin memperpanjang masalah ini.
Siang ini cukup panas dan aku lupa membawa payung. Apalagi aku cukup keteteran mengimbangi langkah Oslo yang panjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Baby! (Buku Kedua dari Yes Series)
RomantikSetelah bercerai, Oslo memutuskan untuk tidak pernah terlibat dengan perempuan dan fokus pada advertising agency yang baru dirintisnya. Janji tersebut buyar karena kehadiran Miranti, karyawan baru yang langsung mengusik Oslo sejak hari pertama. Mira...