What am I doing here?
Sudah tahu aku enggak suka lari, tapi aku malah mengiyakan ajakan Reggie dan Nina untuk lari sore di GBK.
"Oke, gue mau pengakuan dosa," ucapku saat kakiku baru menginjak area lari si stadion GBK.
Reggie yang sedang pemanasan menatapku dengan sebelah alis terangkat.
"Gue paling malas olahraga."
Sementara Reggie mendengkus, Nina malah tertawa. Dia mengangkat kedua tangannya. Sambil melongo, aku membalas high five yang diajukan Nina.
"Gue juga malas, tapi gue suka nongkrong. So here I am." Nina beralasan.
Senyumku terkembang. "Nin, kita ternyata soulmate."
"Kalian berdua hopeless," gerutu Reggie. Dia langsung lari setelah selesai pemanasan, meninggalkanku bersama Nina.
Nina menggandeng lenganku dan mengajakku jalan santai. Sore ini cerah, anginnya menyegarkan. Sesuatu yang langka terjadi di Jakarta.
Di sekitarku, banyak yang berolahraga. Ada yang lari, ada juga yang jalan cepat. Di beberapa tempat, ada yang fokus workout dan pound fit. Meski menjelang malam, justru suasana makin ramai. Para pekerja Jakarta yang dituntut untuk hidup sehat, agar bisa menaklukkan kerasnya hidup.
"Gue salut sama yang masih sempat olahraha. Harusnya termotivasi, tapi asli gue malesnya udah di level akut," celetuk Nina.
Aku tertawa kecil. "Tiap malam, gue selalu bilang ke diri gue buat olahraga besok. Eh besoknya ada aja alasannya sampai batal. Alasan paling dominan sih malas."
"Nah, kan? Gue sampai beli sepatu dan baju olahraga, tapi tetap aja tidur lebih enak."
Tawaku makin keras. "Penginnya punya body kayak Mbak itu, tapi camilan gue posesif." Aku menunjuk seorang perempuan yang lari melintasiku. Dengan pakaian olahraga yang ketat, payudara dan bokongnya menonjol. Definisi seksi yang sebenarnya.
"You tell me." Nina menyetujui.
Mataku menatap sekeliling, melihat orang-orang bersimbah keringat saat berolahraga. "Gue lebih suka lihat body cewek deh ketimbang cowok. I mean, look at her." Aku menunjuk seorang perempuan yang melewatiku. "Pantatnya bagus banget. Bikin gue termotivasi. Meanwhile kalau cowok tuh ya sebatas enak dilihat aja, enggak lantas bikin gue langsung suka."
Nina mengangguk. "Body bagus cuma nilai plus, tapi bukan yang utama."
Tiba-tiba di benakku melintas bayangan Oslo dengan tubuhnya yang kekar dan berotot. Seketika wajahku memerah.
"Gue enggak munafik, sih. Gym bro dengan body oke memang memanjakan mata, tapi ada faktor lain yang menentukan gue bakal suka atau nggak." Aku melanjutkan, sembari mengusir bayangan Oslo dari benakku.
"Tipe cowok lo gimana?" Tanya Nina.
Aku merenung sesaat, tapi tidak ada yang terlintas di benakku. "Enggak tahu. Gue enggak netapin tipe tertentu. Kelemahan gue, tiap kali jatuh cinta selalu dalam jadi kalau patah hati, susah buat move on."
Nina melirikku dengan senyum tipis di wajahnya. "Jadi lagi jomlo, nih?"
Aku tertawa. "Gitu, deh."
GBK semakin ramai saat malam menjelang. Aku berhenti di depan gym yang ada di dalam kompleks GBK.
"Gue mau ngegym lagi, tapi takutnya gue cuma jadi investor tetap tapi nggak pernah datang."
Nina tertawa. "Tiap Kamis, Stevie di sini."
Aku kembali menoleh ke arah gym. "Kok lo tahu?"
Nina tersipu. "Alasan gue mau nemenin Reggie karena sekalian nungguin Stevie."
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Baby! (Buku Kedua dari Yes Series)
RomanceSetelah bercerai, Oslo memutuskan untuk tidak pernah terlibat dengan perempuan dan fokus pada advertising agency yang baru dirintisnya. Janji tersebut buyar karena kehadiran Miranti, karyawan baru yang langsung mengusik Oslo sejak hari pertama. Mira...