Panggilan Mendesak

18.2K 1.3K 25
                                    

Setiap kali ada panggilan telepon dari Bapak, tubuhku mematung. Meski dari jauh, Bapak selalu berhasil menghadirkan teror yang membuatku ketakutan.

Tidak seharusnya aku takut pada ayahku sendiri, tapi itulah yang selalu kualami.

Hal itu juga yang membuatku enggan pulang ke rumah. Kalau tidak ada hal mendesak, aku tidak akan pulang. Toh, Bapak juga tidak mencariku.
Bahkan meneleponku saja jarang. Setiap kali Bapak menelepon, hanya untuk urusan penting. Bapak tidak akan meneleponku hanya untuk menanyakan kabar.

Aku menarik napas panjang sebelum keluar dari ruangan dan menuju phone booth. Bapak punya suara keras. Tanpa loudspeaker pun orang lain bisa mendengar suaranya. Jadi aku tidak mau mengganggu rekan kerjaku yang lain.

"Miranti." Bapak mendahuluiku. Dari semua orang yang mengenalku, hanya Bapak yang memanggilku Miranti.

Di mata Bapak, aku adalah Miranti. Aku tidak pernah menjadi Mimi.

"Ya, Pak." Suaraku terdengar pelan, mencicit penuh ketakutan.

"Dua minggu lagi, kamu pulang. Ada acara perayaan ulang tahun pernikahan Bapak dan ibumu." Bapak berkata tegas.

Aku lupa akan acara itu. Jauh di dalam hati, aku tidak ingin datang. Namun, aku tidak punya kuasa melawan Bapak.

"Iya, Pak." Aku menyahut karena hanya itu yang bisa kulakukan.

"Jaga kelakuanmu. Jangan membuat masalah lagi."

Aku memejamkan mata. Seolah ada yang memukul kepalaku. Pusing bertalu-talu mengiringi tuduhan Bapak.

Perayaan ulang tahun Bapak sama dengan perayaan kematian Mama. Bapak menikah lagi, tepat satu tahun setelah Mama meninggal. Seolah kehadiran Mama tak ada artinya di hidup Bapak. Setelah semua pengorbanan Mama menjadi istri yang setia mendampingi Bapak, tak ada arti apa-apa. Dengan mudah, Bapak menggantikan Mama.

Tahun lalu, aku tidak bisa menahan diri. Aku terlibat adu mulut dengan ibu tiriku. Perseteruan itu hampir menghancurkan acara Bapak. Saat itu Drew masih menjadi pacarku, dia segera membawaku pergi sebelum Bapak menghampiri. Drew merasa berjasa sudah menyelamatkanku dari amukan Bapak, tapi dia malah tidak henti-hentinya menyalahkanku sebagai penyebab pertikaian tersebut.
Kalau saja ada pilihan lain, aku ingin mangkir dari acara itu.

Bapak memutus panggilan telepon, tapi efek yang ditinggalkannya langsung membuatku kehilangan semangat. Aku terduduk lemas sambil memikirkan mimpi buruk yang menungguku dua minggu ke depan.

Ketukan di pintu mengagetkanku. Aku terkesiap saat menyadari Oslo berdiri di sana.

"Are you okay?"

Alih-alih menjawab, aku malah merebut kopi di tangannya dan menyeruputnya. Oslo hanya terkekeh melihat tingkahku.

"Are you okay?" Tanyanya lagi.

Aku menghela napas panjang. "Aku butuh kopi."

"Dasar," kekehnya dan beranjak meninggalkanku bersama kopinya.

Aku masih bergeming di tempat ketika Oslo datang lagi tak lama kemudian.

"Kamu bisa cerita, Mi. Biar tenang." Oslo baru saja mengembalikan nasihat yang kuberikan kemarin.

Tak ayal, aku tertawa. "I'm good."

"Kamu bisa cerita dan aku akan dengerin tanpa nge-judge."

Lagi, aku tertawa ketika Oslo mengulang kembali perkataanku.
Saat aku menatap matanya, aku menemukan ketenangan juga ketulusan di sana. Dadaku berdesir saat terperangkap dalam tatapannya.
Detik itu aku tahu, aku bisa mempercayai Oslo.
***

"Dementor enggak bisa bikin lo hidup tenang ya?" Tanya Nava. Dia yang memberi julukan Bapak dengan Dementor. Julukan yang tepat, karena setiap kali berinteraksi dengan Bapak, semangatku hilang.

Aku mengaduk makanan dengan lemas, selera makanku tidak ada meski perutku keroncongan. Semua karena telepon Bapak siang tadi.

"Gue enggak mau pulang," keluhku.

"Let's say lo enggak pulang, dia bisa apa?" Tantang Nava.

"Ajudannya bakal jemput gue, menyeret gue kalau perlu." Bapak pernah mengancam dan di kamus Bapak tidak ada yang namanya gertak sambal. Ancaman Bapak jangan dianggap enteng.

"Lagian gue heran, apa gunanya lo datang ke acara itu?" Tanya Pat.

Aku menjentikkan jari di depannya. "Exactly."

Bapak adalah contoh nyata patriarki. Di mata Bapak, anak perempuan hanya berguna untuk melanjutkan garis keturunan. Aku selalu diperlakukan berbeda dibanding Mas Andre atau Aldo, adikku. Bukan karena aku istimewa, melainkan karena aku perempuan dan tempatku hanya di rumah. Bagi Bapak, aku tidak perlu berkarier. Aku hanya perlu menikah dengan laki-laki pilihan Bapak. Eksistensiku di mata Bapak hanya sebatas itu.

Aku jelas menolak perjodohan itu. Seperti aku menolak kehidupan yang dipersiapkan Bapak untukku.

Jadi aku tidak mengerti mengapa aku harus datang ke acara itu. Aku tidak akan diajak berkeliling untuk memamerkan keberhasilanku, seperti Bapak yang tak pernah berhenti membanggakan Mas Andre dan Aldo. Mereka berdua mengikuti jejak Bapak di Militer.

"Jangan-jangan lo mau dijodohin," cetus Pat.

Aku menggeleng. "Enggak mungkinlah. Dulu udah pernah, terus batal. Enggak pernah diungkit lagi tuh."

"Itu karena lo pacaran sama Drew. Sekarang?"

Pertanyaan Nava membuatku langsung terduduk. Nava ada benarnya. Perjodohan itu berhenti karena aku pacaran dengan Drew. Bapak bisa menerima kehadiran Drew.

"Benar juga." Aku menjambak rambut dan menjerit frustrasi. "Makanya Bapak ngotot gue harus pulang. Di acara itu pasti banyak tentara yang salah satunya pasti dijodohin sama gue."

"Kenapa lo langsung nolak sih. Kali aja yang dijodohin oke. Cowok seragam, Nyet. Seksi pasti." Nava terkekeh.

Aku kembali mengerang. "Gue enggak masalah kalau dia tentara atau bukan. Masalahnya ini tuh pilihan Bapak gue. Pasti yang dipilih yang sejenis sama dia. Yakali gue nikah sama laki begitu."

Nava dan Pat sama-sama terdiam, sementara aku kembali terkulai lemah. Nasib benar-benar menertawakanku.

"Gue harus gimana?" Erangku.

"Lo harus selangkah lebih di depan." Nava menjawab.

Aku menatap Nava penuh harap. Di saat seperti ini, aku membutuhkan ide gilanya.

Nava menjentikkan jari. Ekspresinya tampak riang. Aku yakin dia baru saja mendapat ilham untuk melawan Bapak.

"Oslo," cetusnya.

"Oslo?"

Nava mengangguk. "Lo bawa dia ke acara itu, pura-pura pacaran kek atau apa. Bikin bokap lo percaya kalian dekat jadi enggak ada harapan buat perjodohan."

"Lo mau gue digoreng hidup-hidup?" Tantangku.

Nava menatapku dengan semangat berapi-api. "Justru itu. Bikin bokap lo marah sekalian."

Aku dan Pat saling berpandangan denganku, tidak mengerti arah pembicaraan Nava.

"Bokap lo pasti enggak bisa terima Oslo. Makanya lo ajak dia, sengaja pancing amarah beliau sekaligus tunjukin kalau lo bukan Miranti yang bisa diatur-atur," jelas Nava.

Aku menegakkan tubuh saat menyadari ucapan Nava ada benarnya.

"Lo cuma disuruh datang. Enggak ada perintah harus datang sama siapa," lanjutnya.

Senyum terkembang di wajahku. Ide Nava benar-benar brilian.

Bapak tidak akan menerima Oslo. Tidak ada satu pun ceklis calon menantu yang diinginkan Bapak dipenuhi oleh Oslo. Aku bisa membayangkan betapa murkanya Bapak ketika melihatku datang ke acara itu bareng Oslo.

"Thanks, Babe. Lo benar. Gue bisa ajak Oslo."

"Masalahnya dia mau enggak?" Tanya Pat.

Aku mengibaskan tangan. "Gampang itu mah. Dia pasti mau."

Oslo masih punya satu utang kepadaku. Ini saatnya menagih utang tersebut.

Yes, Baby! (Buku Kedua dari Yes Series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang