Oslo
"Tumben pada kosong weekend ini?" Tanyaku sambil mengambil tempat di depan Stevie.
Stevie dan Dwi sudah lebih dulu datang. Kalau saja mereka tidak memaksaku, pasti saat ini aku masih di tempat Mimi.
Sebagian hatiku bersyukur atas ajakan mereka. Dengan begitu, aku punya alasan untuk angkat kaki dari rumah Mimi. Karena jika menurut ke kata hati, aku memilih untuk tetap berada di sana.
Seks dengan Mimi jelas jauh lebih menyenangkan ketimbang bertemu kedua temanku ini. Namun, aku tidak bisa terus terlena oleh Mimi.
Aku sudah melanggar janjiku sendiri.
Rosie membuatku berjanji untuk tidak terlibat dengan perempuan mana pun. Setidaknya sampai aku percaya perempuan itu tidak akan mengkhianatiku dan memanfaatkanku demi kepentingan pribadi. Rosie benar-benar membuatku bermasalah dengan trust issue.
Selama berbulan-bulan, aku berhasil menahan diri. Aku mati-matian berusaha menepati janji.
Sampai Mimi hadir dan merusak semuanya.
Kali pertama dia hadir, aku sedang berada di titik terendah setelah mengetahui kebohongan Rosie. Mimi menawarkan jalan keluar dari kubangan sakit hati, meski hanya untuk sementara. Itu yang kubutuhkan. Seks panas yang membuatku berhenti berpikir, dan membiarkan tubuhku menikmati seks yang liar.
Bertemu Mimi lagi berada di luar kuasaku. Mimi yang setiap hari membuatku harus menekan hasratku dalam-dalam. Mimi yang kehadirannya membuatku mempertanyakan janji yang kubuat.
Selama lima bulan ini, aku cukup puas dengan tanganku sendiri. Aku sudah aktif dalam hubungan seksual sejak beranjak dewasa, dan ketika tiba-tiba memutuskan untuk antiperempuan, tubuhku menolak. Sudah tidak terhitung berapa kali aku frustrasi mengocok penisku sendiri untuk melampiaskan hasratku, sekaligus menolak keinginan untuk merasakan kehangatan vagina perempuan.
Kalau dia bisa bicara, dia akan menolak keras-keras ketika lagi-lagi, aku hanya bisa memuaskan diri dengan tanganku.
Sejak ada Mimi, siksaan itu semakin menjadi-jadi. Tubuhku tahu seperti apa rasanya kenikmatan yang diberikan Mimi. Tubuhku menginginkan Mimi.
Bibirnya tercipta untuk kucium. Payudaranya ada untuk kuremas dan putingnya selalu menantangku untuk memanjakannya. Vaginanya selalu memanggilku, membuat penisku selalu mengeras setiap kali berada di dekat Mimi.
Janji itu terasa semakin berat setelah ada Mimi. Ditambah Mimi tidak memberiku kesempatan untuk menghindar. Meski aku sengaja bersikap dingin, Mimi tetap menghantuiku.
Membuatku ingin mendorongnya ke meja dan menggagahinya sampai dia menjeritkan namaku.
Atau mendesaknya ke dinding dan menggaulinya hingga dia terpaksa bertumpu ke lenganku akibat kakinya tidak bisa menahan rangsanganku.
Aku akan membuatnya mencapai kenikmatan tertinggi dan satu-satunya yang bisa dilakukannya hanyalah menjeritkan namaku.
Merasakan tubuh Mimi di sentuhanku membuatku tidak lagi bisa berpikir jernih. Janji itu seketika terlupa. Begitu bibirku menciumnya, aku tidak lagi bisa melupakan Mimi.
Bahkan sekarang, ketika ada dorongan kuat untuk angkat kaki dan kembali ke rumah Mimi.
Namun, aku menahan diri. Tidak ingin nafsu mengambil alih keputusanku.
"Nina lagi sama kakaknya," jawaban Stevie mengembalikanku ke masa sekarang.
Sejak menikah dengan Nina, sangat sulit untuk mengajak Stevie nongkrong. Apalagi sejak Nina hamil, dia selalu menempel pada Nina. Aku pernah meledeknya, meski sebenarnya aku iri. Setelah melihat cinta orang tuaku yang tak pernah padam selama empat puluh tahun, aku harus menyaksikan sendiri Stevie yang sangat tergila-gila pada Nina.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Baby! (Buku Kedua dari Yes Series)
عاطفيةSetelah bercerai, Oslo memutuskan untuk tidak pernah terlibat dengan perempuan dan fokus pada advertising agency yang baru dirintisnya. Janji tersebut buyar karena kehadiran Miranti, karyawan baru yang langsung mengusik Oslo sejak hari pertama. Mira...