Mimi
"Mau lari, Mi?"
Aku menggeleng, membuat Reggy memutar bola mata dan meninggalkanku. Aku tidak punya tenaga untuk lari. Bahkan untuk sekadar menjalani hari-hari saja aku tidak punya tenaga.
Rasanya ingin bergelung di tempat tidur, tidak perlu ke kantor atau melakukan apa-apa. Namun bergelung di tempat tidur juga bukan ide bagus, karena hanya mengingatkanku pada Oslo.
Setiap sudut kamarku hanya mengingatkanku kepadanya. Aku membencinya karena dia tidak ada di saat aku sangat merindukannya. Dia malah pergi dan meninggalkanku sendiri bersama patah hatiku.
"Nunggu di Starbucks aja, yuk," ajak Nina.
Baru beberapa langkah, aku menyesal sudah menerima ajakan Nina. GBK mengingatkanku kepada Oslo. Saat menatap gym, aku teringat saat Oslo membantuku berolahraga.
Ke mana pun aku pergi, aku selalu teringat akan Oslo.
Ketika melihat Pussy, aku teringat Oslo.
Saat di kantor, aku disadarkan oleh rasa sepi karena Oslo tidak ada.
Dan sekarang, saat melintasi area lari di GBK, otakku dengan lancang memainkan kebersamaanku dengan Oslo.
"Lo lagi bete kenapa?" tanya Nina. Entah karena hamil atau sudah dari dulu dia sepeka ini.
Aku mati-matian bersikap biasa saja, tidak ingin ada yang tahu bahwa di dalam hati aku tidak berfungsi dengan baik. Tetap saja, Nina berhasil mencium yang kusembunyikan.
"Gitu, deh."
Nina menatapku lekat-lekat. Aku sengaja menyesap caramel latte, tapi langsung tersedak ketika minuman itu juga mengingatkanku pada Oslo.
Sial. Dia enak-enakan kabur ke negara orang sementara aku di sini seperti orang linglung.
"Gue boleh nebak, enggak?" Nina menatapku lekat-lekat.
Aku menaikkan sebelah alis, memberi Nina kesempatan.
"Ada hubungannya sama Mas Oslo?"
Sekuat tenaga, aku menahan ekspresi. Namun aku gagal. Senyum di wajah Nina menandakan dia mendapat jawaban atas pertanyaannya.
"Lo kangen karena dia lagi cuti?"
Andai masalahnya sesederhana itu.
Aku tidak menjawab. Bahkan tidak berani menatap Nina. Jadi aku sengaja menatap keluar Starbucks, berharap keriuhan di luar bisa meredakan deru di benakku.
"Are you in love with him?"
Pertanyaan Nina meruntuhkan semua benteng pertahananku. Mataku berkaca-kaca. Pedih yang berusaha untuk kuhindari, kini kembali menyerang.
Nina beranjak dari tempatnya dan menempati kursi di sebelahku. Tanpa suara, dia memelukku. Berada di pelukan Nina membuat air mata yang sejak tadi kutahan, kini tumpah tanpa bisa dibendung.
"You'll be fine."
Aku menyusut air mata. "I don't think so."
Nina mengusap punggungku, membantuku mengendalikan diri akibat serbuan emosi.
"Ini salah gue, Na. Dari awal Oslo sudah menegaskan kalau hubungan ini enggak mungkin dibawa serius. Tapi gue aja yang lemah," ujarku sambil terisak.
"Lo enggak bisa nyalahin diri karena jatuh cinta," timpal Nina.
"Seharusnya gue lihat-lihat, jatuh cinta sama siapa?"
Nina semakin mendekapku erat.
"Dia bilang enggak akan tanggung jawab kalau gue patah hati karena jatuh cinta sama dia. Gue udah tahu, tetap aja ngeyel," lanjutku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Baby! (Buku Kedua dari Yes Series)
RomanceSetelah bercerai, Oslo memutuskan untuk tidak pernah terlibat dengan perempuan dan fokus pada advertising agency yang baru dirintisnya. Janji tersebut buyar karena kehadiran Miranti, karyawan baru yang langsung mengusik Oslo sejak hari pertama. Mira...