Oslo
Suara kucing membuyarkan lamunanku. Aku menatap sekeliling, mencari sumber suara. Tak jauh, dari arah teras samping, aku melihat seekor kucing.
Kucing milik Mimi.
Pussy.
Kucing itu mendekat ke arahku. Apa yang dia lakukan di sini? Aku tidak menyangka Mimi tinggal tak begitu jauh dari rumahku. Selama dua tahun aku tinggal di sini, tak sekalipun aku pernah bertemu Mimi.
Kucing itu mengitariku. Hidungnya mengendus sepatuku. Samar-samar, aku mendengar bunyi langkah kaki. Tubuhku menegang saat menduga langkah kaki itu milik Mimi.
Kemarin, aku lepas kendali. Mendengarkan Mimi mengoceh dan mengingatkanku akan apa yang terjadi di Bali membuatku tidak bisa pura-pura bahwa kejadian itu tak pernah ada. Percuma. Karena di dalam benakku, aku masih ingat setiap detik yang kuhabiskan bersama Mimi dengan sangat jelas.
Hal itulah yang membuatku selalu berusaha bersikap dingin di dekat Mimi. Agar naluri binatangku tidak mengambil alih. Hal yang sulit, karena Mimi justru sengaja memancingku.
Aku tidak tahu permainan apa yang tengah dilakoninya. Aku tidak berminat terlibat dalam permainan apa pun, tapi tanpa kusadari aku sudah terjebak dalam permainan yang dirancang Mimi.
Mimi mengintip dari balik tembok. Hanya kepalanya yang terlihat. Dia tersenyum lebar begitu melihat Pussy.
"Pussy," bisiknya sambil melambai agar kucing itu mendekat. Namun, kucing itu masih mengendus sepatuku.
Aku merunduk dan mengangkat Pussy. Untung saja monster satu ini tidak melancarkan aksi kekerasan. Sebaliknya, dia malah menguap lebar.
Mimi mengangkat wajah. Ekspresi kaget hadir di sana saat melihatku. "Mas Oslo?"
Langkahnya yang riang bergerak menghampiriku. Tubuhku menegang--reaksi yang selalu muncul setiap kali Mimi berada di dekatku. Mimi seolah tahu bagaimana reaksi tubuhku, karena dia sengaja berada sedekat mungkin. Sepagi ini, dia sudah mengacaukan pikiranku. Celana pendek dan tank top itu seharusnya terlarang untuk Mimi.
"Mas Oslo tinggal di sini?"
"Dulu." Hanya jawaban singkat itu yang keluar dari mulutku.
Mimi menatap sekeliling. Mata bulatnya tampak bercahaya.
"Rumahnya bagus. Ternyata kita tetangga." Mimi tertawa kecil. "Tahu gitu aku nebeng aja kalau ke kantor."
Aku hanya tertawa kecil. Sementara itu, Pussy kembali menguap.
Mimi baru menyadari kehadiran kucingnya. Dia menutup mulut yang terbuka karena kaget dengan kedua tangannya.
"Sorry, Pussy lepas lagi. Aku enggak tahu ini rumah Mas Oslo. Aku cuma ngejar Pussy yang masuk ke sini." Mimi mengulurkan tangan hendak mengambil kucingnya.
Suara dehaman mengalihkan perhatianku dari Mimi. Aku mendongak dan mendapati Rosie berdiri tidak jauh dariku.
"Pagi, Mas," sapanya. Ketika matanya tertuju ke arah Pussy, aku bisa melihat kilat tidak suka di sana.
Waktu kecil, aku pernah punya anjing dan kucing. Sayang, setelah mereka mati karena tua, tidak ada kesempatan untuk mengadopsi hewan peliharaan. Saat masih menikah dengan Rosie, aku sempat mengutarakan ingin mengadopsi anjing lagi. Namun, Rosie mengaku alergi terhadap bulu binatang sehingga rencana itu tidak terwujud.
Saat melihat Pussy yang begitu nyaman di gendonganku, Rosie menatapku seolah aku baru saja mengkhianatinya.
Tatapan itu bertambah dalam saat dia menyadari kehadiran Mimi. Rosie tidak lagi bisa menyembunyikan rasa tidak sukanya meski dia berusaha tersenyum ke arah Mimi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Baby! (Buku Kedua dari Yes Series)
RomanceSetelah bercerai, Oslo memutuskan untuk tidak pernah terlibat dengan perempuan dan fokus pada advertising agency yang baru dirintisnya. Janji tersebut buyar karena kehadiran Miranti, karyawan baru yang langsung mengusik Oslo sejak hari pertama. Mira...