Jangan Main Api

21.6K 1.1K 31
                                    

"Mimi, I love you." Nina langsung memelukku, begitu aku baru saja memberitahu tujuan team outing saat weekly meeting.

"Tumben jiwa anak kota lo enggak memberontak," ledek Reggy.

Nina mencibir. "Bajo, Gy. Bajo. Siapa yang bisa menolak Bajo coba?" Nina menatapku sambil mengatupkan tangan di dada. Matanya terlihat penuh harap. "Please bilang kita menginap di Plataran Komodo."

Aku tidak perlu menjawab. Cengiran lebarku cukup sebagai jawaban.

Ruang meeting itu langsung heboh. Bahkan Stevie dan Oslo sudah menyerah untuk menyuruh anak-anak ini diam. Jujur, aku tidak menyangka proposal Labuan Bajo akan disetujui oleh Oslo dan Stevie. Padahal aku sudah membuat proposal Lombok yang lebih murah.

Oslo bersuara, cukup bersusah payah sampai mereka semua akhirnya diam. Aku yakin, seharian ini mereka enggak akan berkonsentrasi bekerja.

"Masih ada waktu satu bulan. Mimi akan emailin detailnya, dan kalau ada alergi tertentu, terutama makanan, bisa diinfo ke Mimi," ujar Oslo. "Yang paling penting, enggak ada kerjaan yang keteteran."

Aku menatap satu per satu, dan menyadari tidak ada yang peduli pada ucapan Oslo. Dia kembali menyerah dan memberikan semua tanggung jawab pada Stevie.

"Kita masih harus siapin bahan pitching buat Cornetto, Regy pastiin semuanya di-handle sebelum kita berangkat. Buat aktivasi online Biore masih jalan, jadi make sure semuanya ready dan udah di-schedule buat jaga-jaga di sana susah sinyal," lanjut Stevie.

Meski mereka mengangguk, mereka masih sibuk memikirkan liburan ke Labuan Bajo.

"Oke, untuk request khusus, bisa diemail ya," tutupku.

Oslo bangkit berdiri. Mataku dengan otomatis langsung mengikutinya. Rasanya ingin mengekor di belakangnya, tapi pertanyaan Nina menahanku untuk tetap berada di ruang meeting.

Pagi ini, aku bertanya-tanya seperti apa aku harus bersikap di hadapan Oslo. Aku deg-degan setengah mati. Bahkan sampai aku berada di kantor, aku belum menemukan cara yang tepat untuk bersikap.

Seharusnya aku bersikap biasa saja, tapi sulit untuk melakukannya. Apalagi saat menatap Oslo, meski dari kejauhan, sekelebat bayangannya saja bisa membuatku bersemu merah dan teringat seks panas yang kulewati di akhir pekan kemarin.

Pertanyaan besar, apakah Oslo mengingatnya?

Aku mencoba mencari tahu dari ekspresinya, gesturnya, dan sikapnya. Hal itu hanya membuatku frustrasi karena Oslo bersikap biasa saja, sementara aku sudah senewen sejak pagi.

Satu pertanyaan lagi, aku ingin mengulang seks bersama Oslo. Apakah dia masih menginginkanku? Pengakuannya kemarin masih berbekas di benakku, ketika dia mengakui kehadiranku di titik terendah hidupnya.

Aku tidak ingin hanya menjadi selingan di saat dia sedang rapuh.

Oslo menyuruhku untuk profesional, tapi sulit untuk melakukannya. Ketika dia melewati ruang meeting dan mataku bisa melihatnya dengan jelas dari balik dinding kaca, wajahku langsung memerah. Ketika Oslo mengerling kepadaku, hilang sudah sikap profesional yang ada di dalam diriku.

Panggilan Nina mengaburkan lamunanku.

"Gue mau beli bikini tapi perut gue buncit," rajuknya.

Mataku ikut turun ke arah perutnya. Tanda-tanda kehamilannya belum terlihat.

"Gue juga butuh bikin baru," ujarku sambil mengikuti Nina keluar dari ruang meeting.

Nina menyengir lebar. "Kita belanja bareng ya."

Aku mengangguk setuju. Ide itu tercetus begitu saja. Aku membutuhkan senjata dan bikini adalah senjata yang tepat untuk menggaet Oslo.

Tiga malam di Labuan Bajo, aku pastikan akan menghabiskannya bersama Oslo.

Yes, Baby! (Buku Kedua dari Yes Series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang