Oslo
Life is fucking kidding me.
Di antara semua orang di dunia, mengapa aku justru bertemu dia di sini? Dan, yang membuatku lebih tidak percaya lagi, dia memperkenalkan diri sebagai om-nya Mimi?
He must be kidding me.
Aku mengenalnya sebagai Damar. Dia salah satu klien Rosie. Aku bertemu dengannya ketika menjemput Rosie setelah dia bertemu kliennya. Dia ada di sana, tampak begitu akrab dengan Rosie. Awalnya aku pikir kedekatan itu hanya profesonalitas semata. Aku tidak pernah menaruh curiga kepada Damar.
Tidak ada yang membuatku curiga. Di lain kesempatan, ketika aku menemani Rosie ke acara akhir tahun yang diadakan kantornya, aku kembali bertemu Damar. Dia tidak sendiri, dia datang bersama istri dan anaknya.
Jadi, aku tidak menaruh curiga sedikit pun. Sampai aku menemukan pesan di handphone Rosie dan membuka semua kebohongan itu.
Damar diam-diam menjalin hubungan dengan Rosie. Pria itulah yang membuat Rosie bersikeras menceraikanku, karena dia berharap bisa menikah dengan Damar. Aku masih ingat pesan mereka. Bagi Rosie, Damar adalah cinta sejatinya. Aku dan istri Damar adalah penghalang di balik bersatunya cinta mereka.
Aku tidak pernah lagi bertemu dengannya, sampai malam ini, dan dikejutkan oleh fakta sinting barusan.
Bisa-bisanya dia memperkenalkan dirinya kepadaku. Seharusnya aku bisa menahan diri, tapi kejutan ini tidak kusangka-sangka. Aku datang ke sini untuk menemani Mimi, dan nyatanya aku malah bertemu pria berengsek yang menghancurkan hidupku.
Damar kembali menghampiriku setelah Mimi pergi mengikuti ayahnya.
"Apa pun itu yang sedang kamu rencanakan dengan Mimi, kamu bisa menghentikannya," ancamnya.
Aku tidak langsung menjawab. Selain untuk meredakan amarah, aku juga butuh waktu untuk menerima fakta yang tengah menertawakanku.
"Jangan bawa-bawa Mimi," ancamnya lagi.
Aku bisa melihat wajah Mimi yang berbinar sewaktu bertemu pamannya ini. Aku tidak tega memberitahu Mimi, siapa sebenarnya Damar? Dia akan menanggung kekecewaan besar akibat fakta ini.
"Get the fuck out of me," umpatku.
Bukannya pergi, Damar malah bergeming di depanku. Dia menatapku tajam, hilang sudah sikap canggung seperti yang ditunjukkannya saat melihatku beberapa menit lalu.
"Urusanmu dengan saya, jangan bawa-bawa Mimi dalam balas dendammu."
Aku refleks tertawa. Apa yang dilihat Rosie dari pria yang hanya memikirkan ego seperti ini?
"Saya tidak akan balas dendam, tidak ada gunanya. You can take her, I don't care anymore."
Sejenak aku teringat kehamilan Rosie. Apa dia tahu soal kehamilan Rosie?
Aku menggeleng dan mengenyahkan pikiran itu jauh-jauh. Bukan urusanku. Apa pun yang terjadi antara dia dan Rosie, bukan urusanku lagi.
"Saya peringatkan sekali lagi, jangan libatkan Mimi."
Aku kembali tertawa untuk menghinanya. "Saya tidak serendah itu, jadi saya tidak akan memanfaatkan Mimi. Untuk apa? Tidak ada balas dendam. Kalian berdua tidak ada artinya, jadi untuk apa balas dendam?"
Aku baru saja menusuk egonya.
"Hubungan saya dan Mimi tidak ada hubungannya dengan siapa pun," lanjutku.
Damar mengambil langkah maju, mempersempit jarak denganku. Dia terpaksa meninggikan suara karena tenggelam dalam deru musik.
"Tinggalkan Mimi."
"What did you say?" tanyaku.
Napasnya memburu saat menatapku. "Jauhi Mimi. Laki-laki sepertimu tidak pantas untuk Mimi."
"Who do you think you are? Tukang selingkuh memberi nasihat soal hubungan?" ledekku.
"Kamu boleh sesumbar, tapi saya peringatkan untuk tidak melibatkan Mimi. Satu hal lagi, kamu tidak bisa mempengaruhi Rosie."
Keningku berkerut, benakku kembali memainkan percakapan terakhirku dengan Rosie. "Kenapa? Tidak terima ditinggalkan Rosie?"
Amarahnya semakin menjadi-jadi. "Rosie milik saya, sekalipun dia kembali kepadamu, dia tetap milik saya."
Aku makin tidak mengerti apa yang membuat Rosie jatuh cinta pada pria ini? Sejenak, aku merasa kasihan kepada Rosie.
Namun, aku juga merasa semakin bodoh. Apa yang membuat Rosie lebih memilih pria berengsek ini dibanding diriku? Aku bukan malaikat yang selalu bersikap baik. Aku pernah melakukan hal buruk. Aku tidak sepenuhnya tanpa dosa. Namun satu hal, aku tidak serendah pria di hadapanku ini. Aku memang sempat tergoda dengan Diana, tapi aku menyadari kesalahan itu. Aku bahkan berusaha memperbaikinya, tapi Rosie malah memanfaatkannya agar dia bisa bersama pria ini.
They are so disgusting.
"Now you can get the fuck out of my eyes," umpatnya.
"Screw you." Aku membalas. "Mimi is mine. I won't let her go."
"Jangan sombong. Lihat sekelilingmu, kamu yakin bisa melawan semua yang ada di sini untuk menjerumuskan Mimi ke dalam balas dendam bodohmu itu?"
Aku tertawa kecil. "Mimi bukan properti. Dia bisa melindungi dirinya sendiri. Begitu dia tahu seperti apa paman kesayangannya, she will turns her back on you."
Damar mengepalkan tangan. Aku yakin, jika aku semakin menekannya, dia akan memukulku. Bukannya aku takut. Aku yakin bisa membalasnya. Dia bukan ancaman berarti untukku. Namun aku menahan diri, karena tidak ingin terlibat kekerasan.
Mimi sudah punya banyak masalah. Aku tidak mau menambah masalahnya.
"Mas, kita pulang." Mimi tiba-tiba menghampiri.
Mimi tampak begitu terdistraksi. Detik itu juga, aku tidak peduli pada Damar. Aku langsung meraih Mimi ke dalam dekapanku dan membawanya keluar dari restoran.
Damar can be damned.
Mimi membutuhkanku, meski tidak memberitahu. Jadi aku meninggalkan Damar dan ancaman omong kosongnya, lalu membawa Mimi ke tempat yang aman.
Saat sampai di mobil, tangisnya pecah.
"Please, take me out of here."
Mimi tidak perlu meminta dua kali. Aku menyalakan mobil dan membawanya menjauh dari tempat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Baby! (Buku Kedua dari Yes Series)
RomanceSetelah bercerai, Oslo memutuskan untuk tidak pernah terlibat dengan perempuan dan fokus pada advertising agency yang baru dirintisnya. Janji tersebut buyar karena kehadiran Miranti, karyawan baru yang langsung mengusik Oslo sejak hari pertama. Mira...