Mimi
Persidangan ini tidak bisa ditunda. Meski aku menghindar, pada akhirnya aku harus menghadapi amukan Bapak.
Bukankah ini yang sengaja kulakukan? Memancing amarah Bapak dengan membawa Oslo ke acara penting ini. Jadi, aku tidak bisa mangkir. Aku sengaja mengangkat dagu tinggi-tinggi, berupaya agar tidak terpengaruh oleh intimidasi Bapak.
Mimi yang lama akan mengkerut di bawah tekanan Bapak. Namun, aku sudah meninggalkan Mimi yang tak berdaya. Sebagai gantinya, aku akan memperjuangkan hidupku sekalipun memperbesar perangku dengan Bapak.
"Kamu benar-benar enggak menghargai orang tuamu?" Hardik Bapak setelah kami tersembunyi di bagian luar restoran, jauh dari orang-orang yang asyik bercengkrama di dalam.
Aku menahan diri untuk tidak memutar bola mata saat mendengar tuduhan Bapak.
"Dia siapa?"
Dia yang dimaksud pasti Oslo. "Pacarku."
Napas Bapak menderu saat menahan emosi. "Kamu memang tidak pernah becus mengurus hidupmu sendiri."
Aku berjengit, langsung defensif dengan tuduhan Bapak. Namun Bapak tidak memberiku kesempatan untuk membela diri.
"Kapan kamu berhenti kekanak-kanakan dan jadi dewasa, Miranti?" bentak Bapak.
"Maksudnya apa, ya, Pak?"
Bapak menunjuk ke arah restoran. Aku yakin Bapak tengah menunjuk Oslo. "Apa maksudmu pacaran sama dia?"
"Mas Oslo baik, kok. Bapak belum kenal aja sama dia."
"Apa pekerjaannya?" tanya Bapak.
Yeah, here we go.
"Mas Oslo yang punya agensi periklanan tempat aku bekerja sekarang," sahutku.
"Dia yang membuatmu pindah kerja ke kantor enggak jelas itu?"
Lagi, bentakan Bapak membuatku langsung defensif.
"Enggak. Aku kenal Mas Oslo setelah pindah kerja." Aku membela diri.
Bapak menatapku dengan tatapan tajam yang intimidatif. Bapak menuduhku tidak menghargainya, padahal kenyataan justru sebaliknya. Bapak yang sama sekali tidak menghargaiku dan keputusan yang kubuat.
"Bapak sudah capek-capek membuatmu bisa bekerja di perusahaan yang bagus, tapi kamu malah berhenti begitu saja? Untuk apa? Pindah ke kantor yang enggak jelas itu?" tanya Bapak.
"Apanya yang enggak jelas, sih, Pak? Mau aku kasih lihat bukti pekerjaanku?" tantangku.
Bapak berjengit. Ini kali pertama aku melawan perkataan Bapak. Dia pasti tidak menyangka aku akan melawan, jadi aku memanfaatkan keterdiaman Bapak.
"Perusahaan pilihan Bapak mungkin bagus, tapi di sana aku enggak berkembang. Selamanya aku hanya jadi anak titipan. Aku enggak punya jenjang karier di sana, karena ada anak titipan lain, yang orang tuanya jauh lebih berpengaruh, dan berhak atas posisi lebih tinggi," lanjutku.
Bapak pasti tahu yang kumaksud, dia pasti menyadari bukan hanya aku saja anak titipan di sana.
"Aku enggak tahan berada di lingkungan toxic seperti itu, makanya aku pindah."
"Kalau kamu mau pindah, Bapak bisa mencarikan pekerjaan lain," timpalnya.
Aku mendengkus. "Lalu apa? Aku jadi anak titipan lagi, kan? Akan sama saja, Pak."
"Menurutmu, kantormu yang sekarang lebih bagus?"
Aku mengangguk, mengiyakan tuduhan Bapak. "Creativa memang masih kecil, tapi punya potensi. Dan yang pasti, aku bisa berkembang di sana. Jenjang kariernya jelas. Juga, tidak ada lingkungan toxic dan enggak ada anak titipan."
Bapak menatapku dengan tatapan nyalang. Aku baru saja menyemprotklan oksigen ke kobaran api di diri Bapak.
"Kamu selalu sok tahu, Miranti."
Kali ini, aku tidak menahan diri dan memutar bola mata. Bapak dan gaslighting yang menjadi andalannya. Bapak selalu membuatku merasa kerdil dan tidak berarti apa-apa sehingga akhirnya tunduk pada apa pun yang diperintahkannya.
"Kamu berhenti kerja dan putusin dia sekarang juga." Ucapan Bapak terdengar keras.
"Kenapa?"
"Kenapa?" Hardik Bapak. Untung musik di dalam restoran lumayan keras sehingga tidak ada yang terganggu dengan bentakan Bapak. "Kamu masih bertanya kenapa?"
Aku mengangguk. Di detik ini, aku menyadari persamaanku dan Bapak. Sama-sama keras kepala.
"Kenapa aku harus berhenti? Aku senang bekerja di sana." Aku membantah.
"Apa yang kamu banggakan dari perusahaan kecil yang tidak dikenal itu?"
Aku sontak tertawa. "Aku paham. Creativa enggak bisa mengipasi ego Bapak."
"Miranti." Lagi, Bapak menghardikku.
Aku menghela napas panjang dan memberanikan diri menatap Bapak. Aku membuang jauh-jauh perasaan inverior dan tak berdaya yang selalu hadir setiap kali berhadapan dengan Bapak.
"Aku juga enggak punya alasan untuk putus dari Mas Oslo."
Tatapan Bapak semakin menyala. Napasnya memburu karena menahan marah. Kalau saja aku anak laki-laki, aku yakin Bapak sudah memukulku. Namun yang bisa dilakukan Bapak saat ini hanya mengepalkan tangan untuk menahan emosi.
"Kamu memang tidak pernah bisa diatur, tapi ini sudah kelewatan. Kamu berhenti dari pekerjaanmu dan pulang ke Bandung."
Aku menggeleng tegas. "Aku punya kehidupan di Jakarta."
"Tidak lagi. Kamu membuktikan tidak bisa menjaga dirimu sendiri. Jadi kamu pulang ke Bandung."
Aku kembali menggeleng. "Ini hidupku. Aku yang menentukan seperti apa hidup yang kujalani. Jadi, aku enggak akan pulang ke Bandung dan Bapak enggak bisa memaksa."
"Tentu saja Bapak bisa memaksa. Kamu harus pulang ke Bandung." Bapak menunjuk wajahku dan menekankan setiap patah kata yang keluar dari mulutnya.
Aku sudah membuka mulut, tapi ada yang mendahuluiku.
"Miranti, berhenti melawan ayahmu seperti itu." Tante Devi tiba-tiba bergabung di percakapan ini.
Aku mengerang tertahan. "Tante tuh enggak diajak, ngapain ikut campur segala?"
"Miranti, jaga mulutmu," Hardik Bapak.
Tante Devi menenangkan Bapak dan mengabaikanku. "Mas, dicariin Pak Sapto."
Bapak masih menatapku dengan tatapan membara. Jika dia pikir aku akan mengalah, dia salah. aku sudah berjalan sejauh ini, dan aku tidak akan melangkah mundur.
"Kamu pulang ke Bandung." Sekali lagi, Bapak memberi peringatan sebelum akhirnya mengikuti Tante Devi kembali ke dalam restoran.
Aku bergeming di sudut gelap ini. Setelah tinggal sendiri, aku baru menyadari kalau sejak tadi aku gemetar. Aku sengaja menekan dinding agar tidak melorot ke lantai.
Satu tanganku berada di dada, berusaha menenangkan debaran jantungku. Sekaligus meredakan emosi yang menguasai selama beberapa menit terakhir.
Namun, aku tidak bisa tenang. Aku merasa tercekik. Ke mana pun aku pergi, aku akan selalu tercekik selama ada Bapak di dekaktu.
Aku harus segera pergi dari tempat ini.
Tanpa membuang waktu, aku masuk ke dalam restoran untuk mencari Oslo. Mataku menyisiri sekeliling, dan mendapati Oslo berada tidak jauh dari jendela. Dia tidak sendirian, ada Om Satrio bersamanya.
Sama seperti tadi, Oslo masih menatap Om Satrio penuh permusuhan. Sepertinya mereka saling mengenal, dan ada sesuatu terjadi sehingga mereka tidak akur.
Aku tidak mau terjebak dalam drama mereka. segera saja kusampiri Oslo.
"Mas, kita pulang." Aku berbalik dan menghadap Om Satrio. "Om, aku duluan."
Om Satrio terkesiap. "Kamu baik-baik aja?"
Aku menggeleng. Sedikit pun aku tidak berusaha untuk menenangkan Om Satrio. Aku hanya menarik Oslo dan menjauh dari restoran yang semakin lama semakin mencekikku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Baby! (Buku Kedua dari Yes Series)
Любовные романыSetelah bercerai, Oslo memutuskan untuk tidak pernah terlibat dengan perempuan dan fokus pada advertising agency yang baru dirintisnya. Janji tersebut buyar karena kehadiran Miranti, karyawan baru yang langsung mengusik Oslo sejak hari pertama. Mira...