Mimi
"Miranti."
Hanya ada satu orang yang bisa membuat jantungku berhenti mendadak.
Aku memutar tubuh dan mendapati Bapak menunggu di lobi kantor. Bapak tidak sendiri, ada ajudan yang selalu menemani ke mana pun dia pergi. Waktu masih sekolah, aku harus kucing-kucingam dengan ajudan Bapak yang ditugaskan untuk menjagaku.
"Lo duluan deh. Ada bokap gue," bisikku pada Nina. Aku baru saja kembali dari makan siang bersamanya.
Nina meninggalkanku sementara aku mengambil langkah mendekati Bapak. Setelah kepergianku yang mendadak dari acara akhir pekan kemarin, Bapak menghubungiku tapi aku tidak menggubrisnya. Baru keesokan harinya aku mengangkat teleponnya dan Bapak semakin marah ketika aku memberitahu sudah berada di jalan menuju Jakarta ketika Bapak menyuruhku pulang.
Aku tidak menyangka Bapak akan menghampiriku secepat ini.
"Siang, Pak," sapaku dan menyalami punggung tangan Bapak, tapi ditanggapi dengan dingin.
"Kamu ikut Bapak pulang."
"Pak, aku lagi kerja. Jam istirahatku sudah habis," bantahku yang disambut dengan delikan mata tanda tidak suka.
"Bapak sudah suruh kamu berhenti kerja."
Aku memandang sekeliling. Suara Bapak lumayan keras, siapa pun bisa mendengar. Namun Bapak tidak peduli.
"Weekend ini aku pulang ke Bandung." Aku mencoba berkompromi.
Sayang, Bapak tidak kenal kata kompromi. Bantahanku kian menyulut amarah Bapak.
"Miranti, jangan melawan," ancamnya.
Aku menghela napas panjang, berusaha mengais sisa-sisa kekuatan yang kupunya.
"Pak, aku punya tanggung jawab. Aku enggak bisa seenaknya pergi di jam kerja. Bapak harusnya ngerti." Aku mencoba memberi penjelasan.
Namun Bapak sudah gelap mata. Penjelasan paling masuk akal pun tidak bisa meluluhkan hatinya.
"Atau gimana kalau nanti kita ngobrolnya sambil makan malam?" Tawarku.
"Bapak sibuk. Jadi, kamu ikut sekarang. Ada yang harus kita bicarakan," tegas Bapak.
Aku bergerak gelisah di tempat. Dengan berhati-hati, aku melirik jam tangan. Ada meeting yang harus kuhadiri sebentar lagi.
"Aku ada meeting. Bapak menginap di mana? Nanti aku samperin sepulang kantor," balasku, berusaha menampakkan ketegasan seperti yang dimiliki Bapak.
"Kita bicara sekarang."
Aku yakin saat ini sudah menjadi bahan tontonan semua orang yang ada di lobi. Namun Bapak masih tidak peduli.
"Mimi, ada masalah?"
Oslo datang di saat yang tidak tepat. Bapak semakin mengeras begitu Oslo bergabung dalam perseteruan ini.
"Selamat siang, Pak. Apa kabar?" Oslo mengulurkan tangan dan tidak disambut Bapak.
Oslo menatapku, sorot matanya menyiratkan pertanyaan. Namun aku tidak bisa menjawabnya di hadapan Bapak.
"Kabarin aja ya aku harus nemuin Bapak di mana. Aku balik ke kantor dulu." Tanpa menunggu balasan Bapak, aku menarik lengan Oslo dan mengajaknya beranjak dari lobi.
Setidaknya, Bapak melepaskanku. Padahal aku sidah siap menerima konsekwensi kalau Bapak nekat menyeretku.
Aku mengembuskan napas lega saat berada di dalam lift.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Baby! (Buku Kedua dari Yes Series)
RomansaSetelah bercerai, Oslo memutuskan untuk tidak pernah terlibat dengan perempuan dan fokus pada advertising agency yang baru dirintisnya. Janji tersebut buyar karena kehadiran Miranti, karyawan baru yang langsung mengusik Oslo sejak hari pertama. Mira...