Oslo
Rosie hanya menatapku sekilas sebelum membuang muka. "Aku belum setuju dengan penawaran ini."
Harga yang diberikan calon pembeli masih berada di bawah harga pasar. Aku masih ingin mencari pembeli lain yang mau membeli sesuai harga yang aku tawarkan. Kalau situasinya seperti ini, aku tidak akan keberatan dengan Rosie.
Tidak perlu buru-buru menjual rumah ini. Mungkin, tidak perlu menjualnya sama sekali. Aku menyukai rumah ini, lokasinya strategis. Sudah lama aku mengincarnya, dan hanya bisa menempatinya selama dua tahun.
Namun, mempertahankan rumah ini sampai bertemu pembeli dengan harga yang cocok artinya membiarkan beban yang terkait dengan Rosie masih membebani pundakku.
Aku tidak ingin berurusan dengan Rosie lagi. Artinya, rumah ini harus segera dijual.
"Sold." Aku memutuskan.
Rosie menatapku dengan kening berkerut. "Oslo, kita belum sepakat soal harga."
"You can get the money. All of it." Aku memutar tubuh dan berniat untuk pergi. Berlama-lama di sini bersama Rosie membuatku muak.
Rosie hanya menyadarkanku pada kebodohanku.
"Oslo, kamu tahu bukan itu maksudku..." Rosie mencoba menahan lenganku.
Aku berjengit dan menepis pegangannya. "What do you want? Kamu menuntut cerai dan memanfaatkan prenup kita sehingga bisa mendapatkan semua uang hasil penjualan rumah ini, kan?"
"Oslo..."
"Rose, please spare me. We're done. Rumah ini cuma menghalangi kita. Aku enggak peduli berapa harga rumah ini, jadi lebih cepat terjual lebih baik," potongku.
Rosie menggeleng. "Kamu masih marah."
"Aku enggak marah. Aku kecewa." Aku berkata jujur.
Rosie menatapku dengan perasaan bersalah. "Oslo..."
"Aku kecewa pada diriku sendiri, karena pernah percaya kepada perempuan seperti kamu."
Aku tidak lagi peduli pada Rosie. Aku pun meninggalkan rumah itu.
Rosie awalnya menginginkan rumah itu dijual agar uang hasil penjualan menjadi miliknya, sebagai tambahan allimony ketika kami bercerai. Namun sekarang, dia malah memperumit keadaan. Rumah itu sudah terjual sejak berbulan-bulan yang lalu, kalau saja Rosie tidak berubah pikiran.
Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya. Dia yang menginginkan perceraian ini. Namun sekarang, dia seperti menyesali perceraian tersebut.
Dering telepon membuatku mengalihkan perhatian dari Rosie. Aku masuk ke dalam mobil dan mengangkat telepon itu.
"Hai, Mam."
"Lagi di mana?" Di seberang sana, aku mendengar Mama bertanya.
"Mam, ada apa? Ini sudah hampir tengah malam di sana." Alih-alih menjawab, aku balik bertanya.
Meski di Jakarta masih pukul sepuluh pagi, di Philadelphia sudah pukul sebelas malam. Tidak biasa-biasanya Mama masih terbangun malam-malam begini.
"Ayahmu masuk rumah sakit lagi."
Aku menegakkan tubuh. "What's wrong."
Mama menghela napas panjang. "Salah makan. Sudah tahu dia lactose intollerance."
"Please, Dad." Aku tak pernah habis pikir dengan ayahku itu. Sudah tidak terhitung berapa kali dia harus masuk rumah sakit karena salah makan, penyebabnya karena dia tidak bisa menahan diri ingin mencoba makanan baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Baby! (Buku Kedua dari Yes Series)
RomansSetelah bercerai, Oslo memutuskan untuk tidak pernah terlibat dengan perempuan dan fokus pada advertising agency yang baru dirintisnya. Janji tersebut buyar karena kehadiran Miranti, karyawan baru yang langsung mengusik Oslo sejak hari pertama. Mira...