The New Guy

15.9K 1.2K 39
                                    

Mimi

Gencatan senjata dengan Bapak tidak berlangsung lama. Selang sehari, Bapak kembali menghampiriku. Bapak sepertinya tidak percaya dengan janjiku untuk pulang ke Bandung akhir pekan ini.

Kali ini, Bapak membuatku tersudutkan. Aku tidak bisa menghindar sehingga mau tidak mau masuk ke mobil beliau. Aku melirik ajudan yang memaksaku pulang kemarin, mencari sisa-sisa siksaan Bapak. Kapau Bapak menghajarnya, dia melakukannya di tempat yang tidak bisa dilihat mata.

"Kita mau ke mana, Pak?" Tanyaku.

Bapak melirikku datar. "Makan malam. Kamu ke kantor seperti ini? Lusuh, seperti orang tidak punya uang saja kamu."

Kalau saja Bapak tahu kaus yang dibilang lusuh ini harganya jutaan.

Kerja di Creativa artinya tidak ada aturan berpakaian. Kalau tidak bertemu klien, Oslo bahkan hanya memakai celana pendek dan kaus. Teman-temanku yang lain juga berpakaian kasual dan sopan. Jadi jeans dan kaus seperti yang kupakai sekarang bukan masalah. Apalagi ini Jumat, lebih santai dibanding hari biasa.

"Kita pulang ke rumahmu. Ganti baju yang lebih sopan." Bapak menggelengkan kepala. "Jangan seperti orang jalanan seperti ini."

Aku menutup mulut rapat-rapat, tidak ada sisa kekuatan untuk membantah perkataan Bapak.

Untungnya Bapak tidak menyuarakan kritik lain sepanjang perjalanan. Suasana begitu canggung karena aku tidak menemukan topik yang pas untuk memecah keheningan. Aneh karena aku justru merasa tidak nyaman berada di dekat satu-satunya orang tua kandungku yang tersisa.

Sayangnya hal itu tidak berlangsung lama. Begitu sampai di rumah, Bapak kembali menampakkan ekspresi tidak suka.

"Kamu masih tinggal bersama temanmu itu?" Suara Bapak terdengar menggelegar di dalam rumah yang kosong.

Aku mengangguk dan menyisir sekeliling. Untung rumah dalam keadaan rapi sehingga tidak mengundang protes lebih lanjut.

"Aku ganti baju dulu." Secepat kilat, aku masuk ke kamar.

Lama aku berdiri di depan lemari, memilih pakaian yang disukai Bapak. Hal yang sulit, karena pakaian warna warni dengan aneka potongan itu tidak sesuai dengan standar Bapak.

Akhirnya pilihanku jatuh ke long pleated skirt abu-abu dan blus putih dengan aksen pita di dada. Aku tidak sempat dandan karena Bapak tidak suka dibiarkan menunggu lama, jadi aku hanya touch up makeup. Rambutku sengaja diikat agar tidak terlihat lepek.

Setelah menakai sepatu, aku menghampiri Bapak. Tanpa berkata apa-apa, Bapak langsung mendahului menuju pintu.

Suara Pussy mengagetkanku. Dia mengeong penuh emosi karena lapar.

"Sebentar ya, Pak. Aku kasih makan kucingku dulu."

"Miranti," geram Bapak.

Dengan tergesa-gesa, aku memberi makan Pussy.

"Sorry," bisikku pada Pussy sebelum berlari menghampiri Bapak.

Bapak kembali diam. Hanya tatapannya yang tajam menelitiku, menilai apakah penampilanku sudah cukup layak. Tentu saja, ada yang kurang di mata Bapak meski beliau tidak memberitahu.

Aku menatap ke luar jendela, mencari tahu ke mana Bapak membawaku. Mobil melaju ke arah Pondok Indah hingga akhirnya berhenti di depan sebuah restoran Italia.

Curiga menghantuiku. Ini pasti bukan makan malam biasa. Kalau hanya makan malam berdua, Bapak tidak akan membawaku ke tempat mewah seperti ini.

Kecurigaanku menjadi-jadi ketika melihat Tante Devi sudah menunggu di sana. Sama seperti Bapak, Tante Devi menilai penampilanku. Dia menunjukkan raut tidak suka saat melihatku.

Yes, Baby! (Buku Kedua dari Yes Series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang