Tiga Alasan

24.4K 1.4K 17
                                    

"Holy shit." Umpatan itu keluar dari mulut Nava.

Nava dan Pat menatapku dengan mata membelalak. Aku baru saja memberitahu mereka soal kejadian absurd hari ini.

Sedikit pun aku tidak menduga akan bertemu Oslo lagi. Jakarta itu luas, kemungkinan bertemu lagi sangatlah kecil. Namun takdir punya cara lain untuk mentertawakanku.

Aku tahu alasan Oslo mengajak Pak Stevie pergi. Dia sama kagetnya denganku. Aku menunggu dengan harap-harap cemas. Jangan sampai Oslo membujuk Pak Stevie untuk membatalkan rencana mereka memperkerjakanku.

Setelah mereka kembali, Oslo sangat hemat bicara. Satu-satunya dia buka suara hanya untuk menjelaskan job desk. Aku kembali syok saat tahu dia menjadi atasan langsungku. Artinya semua pekerjaanku akan dipertanggungjawabkan di hadapan dia. Perusahaan ini masih kecil, jadi direktur seperti Oslo turun tangan langsung mengawasi hal kecil.

Aku tidak bisa membaca arti raut muka Oslo. Di satu sisi, dia terlihat enggan. Terbukti dari caranya yang ogah-ogahan saat menjelaskan pekerjaanku, sampai-sampai Pak Stevie menegurnya. Namun di sisi lain, dia menatapku dengan tatapan membara.

Dan tubuhku langsung bereaksi saat menerima tatapannya.

Meski sudah empat bulan berlalu, aku masih belum lupa rasanya bibir tebal itu saat mencumbuku. Juga saat tangannya yang kasar menyentuhku tanpa ada sedikit pun bagian tubuhku yang terlewat oleh sentuhannya. Juga rasa saat bibir dan lidahnya menyerbu kewanitaanku, membimbingku menuju orgasme. Tentunya saat penisnya yang besar dan gagah itu menghantamku hingga aku tak berdaya dan terkapar saat orgasme menguasai.

Seumur hidup, baru di malam itu aku mengalami orgasme hebat berkali-kali. Oslo benar, karena keesokan harinya aku tidak bisa berfungsi dengan baik karena serangan orgasme melumpuhkanku.

Dan ketika bertemu lagi dengannya, semua bayangan kejadian malam itu menyapaku dengan sangat jelas. Tubuhku tahu apa yang dirindukannya.

Aku ingin merasakan kehadiran Oslo lagi.

Awalnya aku bersemangat dengan pekerjaan ini. Namun, sekarang aku tidak lagi yakin.

Aku tidak mungkin ke kantor setiap hari dengan nafsu tertahan kepada atasanku sendiri.

"Gue enggak tahu lo sial atau beruntung," timpal Pat.

Sial lebih cocok. Kalau aku bertemu Oslo dalam keadaan berbeda tanpa ada hubungan profesional di antara kami, aku tidak akan sebingung ini. Aku akan mengikuti apa yang diinginkan tubuhku.

"Beruntung karena kapan lagi lo bisa kerja sama orang ganteng? Ingat, cowok di kantor lama lo busuk semua," tukas Nava.

Aku tertawa.

"Dia atasan langsung gue," balasku.

"Ugh, perfect for your imagination. My BBC is my boss." Nava terkikik.

"Please deh, otak lo bisa enggak sih enggak bokep mulu? Kelamaan jomlo lo, kering tuh memek sampai otak lo ngeres mulu," buruku.

Nava tidak terpengaruh. "Gue jomlo by choice, ya. Ingat." Nava memutuskan pacar terakhirnya, Ilham, karena malas pacaran dengan cowok mokondo yang apa-apa selalu bergantung sama dompet Nava. Toxic relationship yang terlambat disadari Nava. Sebenarnya mereka cocok. Nava tipe provider yang menemukan kebahagiaan di saat dia bisa memenuhi kebutuhan orang lain. Sedangkan Ilham cowok pemalas yang tidak punya keinginan untuk maju. Dia bisa menumpang hidup pada Nava, dan Nava bisa memenuhi kebutuhannya. Win win solution. Namun, lama-lama Nava jengah dan mendepak Ilham dari hidupnya. Aku dan Pat langsung berpesta semalam suntuk merayakan enyahnya Ilham dari hidup Nava. Artinya aku tidak perlu lagi melihat cowok useless itu menumpang tinggal di kontrakan kami. Sejak saat itu, Nava bersumpah untuk tidak mau pacaran dulu sampai waktu yang tidak bisa ditentukan.

Yes, Baby! (Buku Kedua dari Yes Series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang