Mimi
Pemahaman yang datang atas apa yang dialami perasaanku membuatku khawatir bertemu Oslo. Aku tidak ingin keadaan berubah canggung. Atau lebih parah, aku tidak yakin bisa menahan diri. Selama ini aku cukup kesulitan menyimpan apa yang sebenarnya kurasakan.
Aku seperti buku terbuka. Sangat mudah melihat apa yang dirasakan hatiku.
Jadi aku tidak ingin ekspresi wajahku mengkhianatiku dengan memberitahu Oslo apa yang kusimpan rapat-rapat di dalam hati.
Sebagai gantinya, aku sengaja mengambil jarak dari Oslo. Bukan hal yang sulit. Oslo tengah mendekati klien besar sehingga dia dan Stevie jadi sangat sibuk. Semua yang ada di kantor jadi berkali-kali lebih sibuk demi memenangkan tender.
Baru kali ini aku berterima kasih pada semua kesibukan yang ada.
Oslo yang terpaksa lembur juga menjadi anugrah untukku. Meski aku harus membayar mahal—tubuhku yang meronta ingin merasakan kehadiran Oslo.
Sudah malam ketika aku melangkah keluar dari kantor di hari Jumat. Aku yang pertama pulang, sementara teman-temanku masih sibuk dengan pekerjaan. Sebenarnya aku tidak enak hati, tapi Om Satrio menghubungiku dan aku tidak punya alasan untuk menolak permintaannya.
Om Satrio menungguku di lobi. Aku memasuki mobilnya karena tidak ingin diusir satpam akibat berhenti terlalu lama. Ini kali pertama aku bertemu Om Satrio setelah mengetahui rahasia yang disimpannya.
Tidak pernah aku merasa canggung seperti ini saat bersama Om Satrio. Sewaktu baru pindah ke Jakarta, Om Satrio yang banyak membantuku. Sejak dulu, dia jadi malaikat pelindungku. Jika aku tertekan oleh sikap Bapak, aku selalu mencari perlindungan kepada Om Satrio. Tidak heran aku sangat kecewa saat mengetahui Om Satrio tidak sebaik yang aku duga.
"Kita ke Bandung, ya. Sekalian Om mau ke Bandung, tadi bapakmu minta tolong untuk menjemput. Katanya kamu mau ke Bandung juga."
Ucapan Om Satrio membuatku terjebak. Aku memang berbasa basi ingin ke Bandung akhir pekan ini, tapi aku pikir itu sudah tidak ada gunanya lagi. Bapak sudah memenuhi tujuannya mengajakku bertemu dan memperkenalkanku pada Darius. Tidak ada gunanya datang ke Bandung.
"Aku tadinya enggak jadi mau ke Bandung," balasku.
Om Satrio melirikku sekilas. "Yah, Om sudah telanjur bilang iya. Besok kamu libur, kan? Enggak apa kita ke Bandung, nanti Minggu balik bareng Om lagi ke Jakarta."
Aku baru tahu Om Satrio seorang aktor yang baik. Dia berpura-pura bersikap seperti biasa, tapi tatapan matanya tidak menyiratkan kehangatan yang sama. Om Satrio terlihat sangat berusaha keras menutupi kekhawatirannya.
Entah siapa yang menjebakku di sini. Bapak atau Om Satrio. Atau mungkin mereka berdua bersekongkol karena keduanya punya kepentingan denganku.
Om Satrio pasti berpikir Oslo sudah memberitahuku soal kebejatannya. Itulah yang membuatnya tiba-tiba menjemputku.
"Tante Rahmi apa kabar, Om?"
"Sehat."
"Enggak ikut ke Bandung?"
"Putri lagi di minggu ujian, jadi nemenin di rumah," jawabnya.
"Om enggak nemenin Putri?" tantangku.
Om Satrio tersenyum. "Om kebetulan ada urusan di Bandung."
Aku ingin menyuruh Om Satrio berhenti membual.
Lama aku meneliti Om Satrio, hatiku masih tidak bisa terima Om Satrio selingkuh selama bertahun-tahun. Di mataku, Om Satrio merupakan sosok pria sempurna yang sangat mencintai keluarganya. Nyatanya itu hanya kamuflase semata untuk menyembunyikan kejahatannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Baby! (Buku Kedua dari Yes Series)
Lãng mạnSetelah bercerai, Oslo memutuskan untuk tidak pernah terlibat dengan perempuan dan fokus pada advertising agency yang baru dirintisnya. Janji tersebut buyar karena kehadiran Miranti, karyawan baru yang langsung mengusik Oslo sejak hari pertama. Mira...