Oslo
Stupid. Stupid. Stupid.
Orang bodoh juga tahu kalau ucapanku tidak di tempatnya. Namun aku lebih bodoh lagi, karena dengan sengaja menyakiti Mimi.
Kalau boleh memutar waktu, aku akan kembali ke satu jam yang lalu dan menelan kembali semua kata-kata itu. Aku akan membawa Mimi ke apartemenku. Kalau perlu mengurungnya di sana. Aku tidak akan membiarkannya lepas dari pandanganku barang sedikit pun.
Aku tak ubahnya seperti pria berengsek yang menyatakan hubungan ini hanya sebatas seks.
Mimi mendesakku di saat aku sedang kalut. Rosie lagi-lagi membuatku serba salah. Aku tidak sengaja bertemu dengannya ketika kembali ke kantor. Rosie mengajakku bicara, sambil memperlihatkan hasil USG. Dia bahkan menyeretku berbelanja pakaian bayi.
Aku sudah menolak, tapi Rosie menjadikan bayinya sebagai senjata.
Mungkin aku yang terlalu lemah, karena di saat memilih pakaian bayi, ada gejolak emosional di hatiku. Boleh saja Rosie yang menyeretku ke toko ini, tapi aku memilih pakaian demi pakaian dengan senang hati.
Tuduhan Mimi membuatku terdesak.
Aku ingin membantah Mimi, menolak bahwa aku bahagia. Namun Mimi tidak mudah dibohongi.
Dan juga, aku tidak bisa membohongi diriku sendiri bahwa aku bahagia.
Stupid. Stupid. Stupid.
"Mas, you're hopeless." Nina berdiri sambil berkacak pinggang di depanku.
Alih-alih pulang, aku menuju apartemen Stevie. Dia sudah tidur ketika aku memaksa masuk, membuatku terpaksa menerima amukan Nina.
"Kamu yang urus kalau dia mabuk. Aku enggak mau diganggu." Nina beranjak dari hadapanku setelah melemparkan tatapan ingin membunuh.
"Dosa apa gue, bukannya kelonan sama Nina, malah harus mengurus lo," gerutu Stevie.
Aku menyodorkan botol bir kepadanya. "Mending lo minum dari pada ngomel-ngomel begitu."
Stevie merebut botol dari tanganku, tapi tidak meminumnya. Dia menjauhkan semua botol bir dariku.
"Kenapa lo enggak bilang kalau Rosie hamil?"
Aku tidak bisa lupa ekspresi wajah Stevie saat melihat Rosie. Kehamilannya tidak lagi bisa disembunyikan. Ada banyak hal yang ingin ditanyakannya, tapi Stevie menahan diri.
"Gue baru tahu hampir sebulan yang lalu."
"What?"
Aku merebut botol bir yang dijauhkan Stevie. Aku butuh alkohol untuk membuat otakku berhenti bekerja dan hatiku berhenti merasa.
"Katanya itu anak gue."
"Lo bercerai meski dia hamil? Kenapa kalian bisa cerai kalau dia hamil?"
Aku meneguk bis sembari tertawa, membuat cairan itu masuk ke tempat yang salah dan aku terbatuk. Stevie hanya melihatku, tidak ada keinginan untuk menolong.
Teman sialan.
"It's complicated," ujarku.
"Try me."
Selama ini aku merahasiakan semua yang terjadi, bahkan dari Stevie, teman baikku. Juga dari orang tuaku, mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Aku kembali menenggak bir, tapi Stevie masih memerangkapku. Dia tidak akan meninggalkanku sebelum mendapat jawaban yang memuaskan.
"Rosie nikahin gue buat bikin pacarnya cemburu." Aku akhirnya buka mulut, membiarkan semua kebodohan keluar dari mulutku. Damn my pride. Aku tidak lagi peduli pada harga diri yang selama ini kulindungi. "Dia pacaran sama laki orang, makanya dia nikah sama gue. Selama kami menikah, dia masih sama laki-laki itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Baby! (Buku Kedua dari Yes Series)
عاطفيةSetelah bercerai, Oslo memutuskan untuk tidak pernah terlibat dengan perempuan dan fokus pada advertising agency yang baru dirintisnya. Janji tersebut buyar karena kehadiran Miranti, karyawan baru yang langsung mengusik Oslo sejak hari pertama. Mira...