Mimi
"Hai, Babe."
Aku hampir saja menjatuhkan kopi yang kuminum, ketika Oslo dengan entengnya merangkul pundakku. Di saat aku masih mencerna apa yang sebenarnya terjadi, dia merebut kopi itu dan meneguknya.
"Kenapa, sih, suka banget minuman manis begini." Oslo menatap caramel latte milikku sambil mengernyit. "Kopi ya kopi, Mi. Ngapain ditambah yang lain segala, rasanya jadi rusak."
"Bawel, udah minta enggak izin malah protes."
Oslo terkekeh. Dia mengembalikan minuman itu kepadaku. Aku menyesapnya, tapi pandanganku tidak lepas dari Oslo.
Sejak kepergiannya malam itu, aku tidak bertemu Oslo lagi. Namanya aja yang sekantor, tapi kesibukan Oslo yang segunung membuatku kesulitan bertemu dengannya. Selama tiga hari ini, aku hanya berpapasan dengannya tanpa ada kesempatan untuk mengobrol dan membahas apa yang sebenarnya terjadi malam itu.
"Rosie gimana?" Lidahku terasa kelu ketika menyebutkan namanya. Rasanya tidak sudi mengucapkan nama itu dan aku terlambat menyadari.
Oslo mengangguk. "Dia baik. Anaknya juga baik."
Aku menatap Oslo dengan mata menyipit. "Anakmu maksudnya?"
"Belum dikonfirmasi."
Aku tidak segera menjawab. Sejujurnya, aku bisa memahami situasi pelik yang dialami Oslo. Dia merasa serba salah. Bisa saja dia mengabaikan Rosie, tapi kemungkinan Rosie mengandung anaknya membuat Oslo tidak bisa mengabaikannya begitu saja.
Hal itu mengingatkanku kepada cerita Oslo soal Om Satrio. Aku masih tidak habis pikir mengapa Om Satrio bisa selingkuh dengan Rosie? Hubungan itu berjalan selama empat tahun, dan selama itu pula aku melihat Om Satrio sebagai suami dan ayah yang baik.
Semua hal yang kupercaya, nyatanya hanya kebohongan belaka.
"Kamu sendiri gimana?"
"Not good." Aku meringis menatap Oslo. "Aku dijodohin."
Oslo menghentikan langkah, membuatku ikut berhenti melangkah. "Sama siapa?"
"Anak temannya Bapak. Dia pilot Angkatan Udara dan sombongnya selangit." Aku mendengkus.
"Terus?"
Aku menyengir. "Bapak enggak merestui kita. Artinya kamu harus usaha lebih keras lagi buat meluluhkan hati Bapak," godaku.
Oslo mencibir. "Aku enggak butuh restu, Mi."
Tiba-tiba di hatiku muncul harapan yang berada tidak di tempat seharusnya. Aku segera mengusirnya, sebelum harapan itu berkembang cepat di luar kendaliku.
"Kalau cuma dia satu-satunya laki-laki di dunia, aku tetap enggak sudi sama dia." Aku bergidik ngeri membayangkan hidup sebagai istrinya. "Capek tahu ngipasin ego orang yang enggak ada batasannya."
Oslo terkekeh. Sore ini dia begitu santai. Aku semakin meringkuk ke dalam pelukannya, berharap Oslo bisa menularkan perasaan ringan itu kepadaku.
"Kamu mau pulang?" tanyanya.
Aku menggeleng. "Mau gantiin Pat jemput Pussy ke klinik."
Oslo menatapku dengan binar usil di matanya. "Pussy."
"My cat."
"I know." Dia terkekeh. "What about another pussy?"
Aku menyikut rusuknya, membuat Oslo terkekeh.
"My pussy?" bisikku. Aku bahkan sengaja menjilat telinganya, membuat Oslo mengerang tertahan.
Untung tidak ada orang lain di basement ini, karena aku tidak mau dianggap melakukan tindakan asusila di tempat umum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Baby! (Buku Kedua dari Yes Series)
RomanceSetelah bercerai, Oslo memutuskan untuk tidak pernah terlibat dengan perempuan dan fokus pada advertising agency yang baru dirintisnya. Janji tersebut buyar karena kehadiran Miranti, karyawan baru yang langsung mengusik Oslo sejak hari pertama. Mira...