Oslo
Hal pertama yang kuhadapi saat menginjakkan kaki di Jakarta adalah pesan dari Rosie. Dia mengajakku bertemu. Voice note yang ditinggalkannya membuatku terpaksa menemui Rosie.
Aku memaksakan kaki melangkah menjauh dari rumah Mimi. Kalau mengikuti kata hati, aku akan menerima ajakannya. Tentunya menghabiskan malam ini bersama Mimi jauh lebih nikmat daripada menghadapi drama yang disiapkan Rosie.
Aku ingin sepenuhnya lepas dari Rosie. Namun dia selalu punya cara untuk menyeretku ke dalam drama.
Taksi yang membawaku berhenti di depan alamat yang diberikan Rosie. Aku menatap rumah itu dari balik jendela. Setelah bercerai, aku tidak tahu di mana dia tinggal. Aku tidak peduli sehingga tidak mencari tahu. Baru kali ini aku menghampiri Rosie.
Setelah membayar taksi, aku menyeret koper melintasi halaman kecil di depan rumah itu. Rumah Rosie berada di kompleks perumahan di daerah Bintaro. Bentuk fasad yang sama satu sama lain memberikan kesan monoton.
Aku teringat salah satu pertengkaranku dan Rosie. Dia menginginkan tinggal di rumah cluster seperti ini. Namun aku sudah membeli rumah di Cipete. Rosie sempat bersikeras, meski belakangan aku tahu kalau alasannya karena dekat dengan rumah Damar.
Damar. Emosiku selalu terpancing saat mengingatnya.
Rosie membukakan pintu untukku. Senyumnya terkembang lebar saat melihatku.
"Hai."
Aku meneliti sosok di hadapanku. Tidak ada ekspresi panik seperti yang kutangkap di balik suaranya saat menelepon tadi.
"Masuk, Mas."
Aku meletakkan koper di dekat pintu, lalu bersedekap di depan pintu yang terbuka. Aku tidak sudi menginjakkan kaki ke dalam rumah itu.
"Maumu apa?"
"Kita ngobrol di dalam, ya." Rosie memberi celah agar aku bisa melewatinya saat masuk ke dalam rumah.
Namun, aku bergeming. "Sebaiknya kamu memberitahuku apa tujuanmu menyuruhku datang."
Rosie menghela napas panjang. Dia bergerak gelisah di tempatnya. Mataku tak pernah lepas darinya, menunggu kapan dia membuka mulut.
Saat itulah aku menyadari ada yang berbeda darinya. Pakaiannya mencetak tubuhnya dengan ketat, dan aku melihat perutnya yang menonjol.
Aku terkesiap. Sesaat aku lupa caranya bernapas.
"Kamu hamil?"
Air muka Rosie berubah saat menyadari pertanyaanku. Dia semakin gelisah, ketika menatapku, aku bisa melihat ketakutan di matanya.
"Jawab, Rose."
Aku menceraikannya enam bulan lalu. Perceraian itu berjalan cepat. Tidak ada mediasi karena Rosie bersikeras untuk menyudahi pernikahan itu. Statusku yang selingkuh membuat permintaan cerai Rosie jadi mudah dikabulkan.
Sejak saat itu, aku tidak pernah berurusan lagi dengannya.
Ada bagian hatiku yang ingin tahu apakah itu anakku? Namun aku mengenal Rosie. Bisa saja dia mengandung anakku. Namun bisa juga itu anak Damar.
"Aku baru tahu kalau aku hamil setelah kita bercerai." Dia membuka suara.
"Lalu?"
Rosie memberanikan diri untuk menatapku. "Aku sudah lama ingin memberitahumu, tapi aku enggak tahu gimana caranya. Tapi sekarang aku sudah enggak bisa menyimpannya lagi."
"Kamu hamil dan tetap bersikeras untuk bercerai?" Tanyaku.
"Aku belum tahu kalau aku hamil."
"Bullshit," hardikku, tidak peduli jika menimbulkan keributan di kompleks yang hening ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Baby! (Buku Kedua dari Yes Series)
RomanceSetelah bercerai, Oslo memutuskan untuk tidak pernah terlibat dengan perempuan dan fokus pada advertising agency yang baru dirintisnya. Janji tersebut buyar karena kehadiran Miranti, karyawan baru yang langsung mengusik Oslo sejak hari pertama. Mira...