Oslo
Sejak Rosie bertugas di kantor cabang pajak yang berada di gedung yamg sama denganku, mau tidak mau aku sering bertemu dengannya. Sekalipun aku menghindar, Rosie selalu punya cara untuk mengajakku bertemu.
Namun bukan Rosie yang membuatku sakit kepala. Melainkan Mimi.
Anak itu masih menjalankan aksi mogok bicara. Aku sudah minta maaf, sekalipun aku tidak tahu untuk apa permintaan maaf itu.
Sudah malam, kantor sudah sepi ketika aku memutuskan untuk pulang. Hanya tinggal Nina dan Mimi. Aku bergerak mendekati Mimi, tapi dia langsung menyerangku dengan ekspresi ingin mengulitiku hidup-hidup sehingga aku putuskan untuk tidak mengganggunya.
Aku butuh tidur panjang untuk meredakan sakit kepala.
Sekalipun aku ingin bersama Mimi, aku tidak keberatan menghabiskan malam ini sendiri. Sudah lama aku tidak sendirian. Bayangan tempat tidurku yang nyaman menghantui. Juga bayangan bahwa tempat tidur itu akan jauh lebih nyaman jika ada Mimi untuk kupeluk.
Dasar bodoh. Makin lama jalan pikirku makin susah dikendalikan. Sekalian saja aku membayangkan tinggal bareng, atau kalau perlu menikah dengan Mimi sehingga bisa terus bersamanya.
Aku terkeseiap ketika benakku memainkan bayangan tersebut. Aku dan Mimi. Bersama. Menjalin rumah tangga.
Anehnya hayangan tersebut tidak terasa mengerikan. Malah aku tidak keberatan jika benar terwujud.
Sial, otakku sudah tidak bisa berpikir jernih.
Sepertinya sekaleng dua kaleng bir bisa mengembalikan fungsi otakku.
Di lobi, lagi-lagi aku harus berhadapan dengan sumber masalah. Rosie ada di sana, mungkin sedang menunggu mobil. Dia tersenyum lebar begitu melihatku. Dulu aku pernah tergoda oleh senyum itu. Namun sekarang, tak ada gejolak apa-apa di hatiku saat melihatnya.
"Baru pulang, Mas? Tanyanya.
Aku mengangguk singkat. Hati kecilku menyuruh untuk menawarkan tumpangan pada Rosie, tapi akal sehat menyuruhku segera menjauh.
"Rose."
Bagus, seolah drama hari ini belum cukup. Damar datang di waktu tidak tepat.
Entah dia datang untuk menemui Rosie atau Mimi. Damar menatapku penuh permusuhan. Aku tidak peduli, jadi kuputuskan untuk menjauh.
Dari pada makin sakit kepala.
"Kamu masih menemui dia?"
Dia yang dimaksud pasti aku. Langkahku terhenti, aku menoleh ke balik punggung dan mendapati Rosie tengah menenangkan Damar.
"Kamu kembali sama dia?" Bentaknya.
Untung saja lobi sepi, tapi tetap saja aku harus menanggung malu karena jadi tontonan satpam.
"Kamu hamil anak siapa?"
Aku mendengkus, dalam hati jatuh kasihan kepada Rosie. Aku memang bukan malaikat tanpa dosa, tapi jelas aku lebih baik dibanding cecunguk satu itu.
"Mas, kamu tenang dulu." Rosie masih bisa-bisanya tenang menghadapi dia.
Apa yang aku lakukan di sini? Seharusnya aku angkat kaki. Aku tidak ada urusan dengan mereka. Namun seolah ada yang menahan kakiku sehingga aku bergeming di tempat, mengikuti drama murahan di hadapanku.
"Mas, please lepaskan aku."
Dari tempatku, aku bisa melihat Damar sudah gelap mata. Dia tidak peduli jika Rosie memohon agar dilepaskan.
"Perempuan murahan. Kamu hamil anak dia?"
"Shit," umpatku. Aku tidak bisa tinggal diam lebih lama lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Baby! (Buku Kedua dari Yes Series)
RomanceSetelah bercerai, Oslo memutuskan untuk tidak pernah terlibat dengan perempuan dan fokus pada advertising agency yang baru dirintisnya. Janji tersebut buyar karena kehadiran Miranti, karyawan baru yang langsung mengusik Oslo sejak hari pertama. Mira...