Medan Perang

16.6K 1.4K 36
                                    

Mimi

Keringat dingin mengucur di sekujur tubuhku ketika menapak ballroom hotel menuju lift yang akan membawaku ke restoran tempat acara berlangsung. Aku mengusapkan telapak tangan ke gaun yang kupakai, berusaha mengatasi keringat yang membasahi.

"How do I look?" Aku berdiri di hadapan Oslo, memintanya memberi penilaian objektif.

"Jujur?" Oslo menggelengkan kepala. "Ini bukan kamu."

Aku menghela napas panjang. Gaun panjang berwarna hitam tanpa hiasan apa-apa, sama sekali tidak menggambarkan diriku. Namun aku tidak datang sebagai Mimi, melainkan sebagai Miranti.

Dan inilah Miranti.

Begitu menginjakkan kaki ke dalam lift, aku meninggalkan Mimi jauh di belakang.

Perutku melilit ketika keluar dari lift dan di hadapanku menjulang pintu menuju restoran. Acara akan dimulai sebentar lagi, jadi belum banyak yang datang. Meski aku datang tepat waktu, di mata Bapak aku sangat terlambat.

Aku terkesiap ketika Oslo meraih tanganku dan menggenggamnya. Sedikit ketenangan mengalir ke dalam tubuhku. Aku menghela napas panjang, berharap agar malam ini berakhir baik-baik saja.

Tidak bisa mengelak lebih lama, aku akhirnya melangkah masuk ke dalam restoran. Bapak selalu total setiap kali membuat acara, karena ini cara Bapak menunjukkan kekuasannya di hadapan kolega. Apa pun akan dilakukan untuk mengipasi egonya.

Kehadiranku juga memiliki tujuan yang sama, untuk menjadi pion Bapak dalam menunjukkan citra keluarga bahagia.

Bapak dan Tante Devi berada di tengah ruangan. Mereka memunggungiku, tidak menyadari kehadiranku. Aku memanfaatkan waktu yang sempit dan beranjak menuju meja berisi minuman. Aku meneguk segelas air mineral sampai habis, dan menyadari kalau kerongkonganku sangat kering.

Tante Devi yang pertama kali menyadari kehadiranku. Di antara tamu-tamu, Tante Devi bersorak gembira saat melihatku. Dia langsung menghampiri dan memelukku—untuk memberi tahu semua orang betapa dia merindukanku. Padahal pelukan itu sangat canggung.

"Kamu sehat-sehat saja, Miranti?" Tante Devi menangkup kedua sisi wajahku, matanya menelitiku. Tatapan yang tidak menunjukkan kasih sayang sedikit pun.

Aku mengangguk. Saat akan membuka mulut, aku mendengar Bapak berdeham. Tatapan Bapak menelitiku, menilai apakah aku layak untuk berada di sini. Tidak peduli seberapa kuat aku berusaha, selalu saja ada yang salah di mata Bapak. Kali ini pun sama. Belum sampai lima menit, aku sudah melihat ekspresi keberatan di wajah Bapak.

Tatapan Bapak beranjak ke belakangku. Wajah Bapak mengeras saat menyadari kehadiran Oslo.

Keringat dingin semakin membanjir, membuatku sangat tidak nyaman.

"Kamu datang sama siapa?" Suara Bapak terdengar keras dan kasar.

Aku menunjuk Oslo. "Pacarku, Pak. Kenalin, Oslo. Mas, ini Bapak dan Tante Devi."

Bapak menatapku tajam. Untuk dua hal, pertama karena aku memanggil Tante Devi. Bapak bersikeras menyuruhku memanggilnya Mama, apalagi kalau berada di tempat umum. Namun lidahku menolak memanggil perempuan itu dengan sebutan lain selain Tante Devi.

Alasan kedua yang memancing amarah Bapak, yaitu kehadiran Oslo. Sesuai dugaanku, Bapak langsung memasang wajah tidak suka.

"Kamu sudah punya pacar lagi?" Tante Devi bersuara.

Aku mengangguk.

Oslo mengulurkan tangannya. "Saya Oslo. Senang bisa bertemu orang tuanya Mimi."

Bapak menyambut uluran tangan Oslo dengan dingin. "Miranti."

Yes, Baby! (Buku Kedua dari Yes Series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang