Ledakan Besar

20.8K 1.8K 102
                                    

Mimi

"You must be kidding me." Aku mengumpat ketika melihat ajudan Bapak di depan rumah.

Dia telanjur melihatku. Kalau belum, aku sudah melompat naik ke atas Gojek dan meminta abang ojek membawaku pergi sejauh mungkin.

"Selamat malam, Mbak Miranti."

Aku mendengkus. "Mau apa lagi?"

Tidak seharusnya aku meluapkan kekesalan kepadanya. Mungkin nanti, kalau suasana hatiku sudah membaik, aku akan minta maaf karena menjadikannya sebagai sasaran tembak.

Dia membukakan pintu mobil. Bapak sudah menunggu di dalam.

"Ayo masuk. Kita sudah enggak punya waktu lagi." Bapak berkata tegas tanpa melirikku.

"Aku enggak boleh ganti baju dulu?" tanyaku.

Bapak melirikku dengan tatapan menghakimi yang selalu ada di wajahnya. "Tidak usah. Mau gimana pun, kamu tetap begitu."

Seharusnya Bapak membangkitkan kepercayaan diriku, bukan sebaliknya. Dengan enggan aku masuk ke dalam mobil. Hanya ada Bapak, serta ajudannya. Namun aku tahu, ke mana pun Bapak membawaku pergi, pastinya itu bukan tempat yang nyaman.

Ini kali pertama aku bertemu Bapak setelah kejadian di Bandung. Bapak tidak menghubungiku, dan aku juga tidak berniat menghubunginya duluan. Hatiku masih sakit sehingga menjauh dari Bapak sangat baik untuk kesehatan mental dan batinku.

Sepanjang perjalanan, Bapak tidak mengajakku bicara. Baguslah, karena aku butuh waktu untuk menyusun strategi melawan musuh-musuhku nanti. Aku mendata siapa saja yang mungkin menunggu. Pasti ada cecunguk berengsek satu itu. Aku tidak akan mengizinkan Darius memutarbalikkan fakta.

Mungkin ada Om Satrio. Dia tak henti-hentinya menggangguku, menjelek-jelekkan Oslo sehingga Bapak semakin membenci Oslo. Seharusnya Om Satrio tidak perlu repot-repot, sekarang Oslo sudah menjauh dengan sendirinya.

Memikirkan Oslo membuat perutku melilit dan hatiku seperti ditusuk-tusuk hingga tak berbentuk.

Mobil berhenti di depan restoran Italia yang sama dengan tempat Bapak mengajakku makan malam waktu itu. Bagus, aku seperti Upik Abu yang masuk ke dalam istana mewah. Untung aku sempat menyemprotkan facial mist dan parfum sehingga tidak terlalu lusuh.

Aku mengikuti Bapak melintasi parkiran dan masuk ke dalam restoran. Alunan musik jazz menemaniku ketika diantar menuju ruang tertutup. Aku hampir tidak mempercayai penglihatanku ketika mengetahui siapa yang ada di ruangan tersebut.

Semua keluargaku ada di sana. Tante Devi, Mas Andre, dan Aldo. Juga ada Om Satrio dan Tante Rahmi. Rasanya ingin menghambur ke pelukan Tante Rahmi karena kasihan kepadanya. Tante Rahmi begitu baik, Om Satrio tidak layak untuknya.

Di meja itu juga ada Om Prabu dan Tante Anna, orang tua Darius. Dan si berengsek satu itu. Dia tersenyum sinis saat menatapku, mengangkat gelas wine tinggi-tinggi dengan ekspresi meremehkan yang membuatku jijik.

Bagus, semua musuhku berkumpul dalam ruangan ini.

Masalahnya aku belum mempunyai strategi yang mumpuni untuk melawan mereka.

"Akhirnya datang juga. Sudah ditungguin, lho, Miranti." Tante Devi meraih tanganku dan mengajakku duduk di sampingnya.

"Pulang kerja?" tanya Om Prabu.

Aku mengangguk. "Iya, Om."

"Nanti kalau menikah sama Darius, enggak perlu capek-capek kerja lagi," timpal Tante Anna.

Memangnya siapa yang mau menikah dengan Darius?

Makan malam itu berlangsung formal. Sepertinya hanya aku satu-satunya yang tidak sudi berbasa-basi. Aku juga tidak berusaha untuk terlihat ramah, apalagi menikmati obrolan.

Yes, Baby! (Buku Kedua dari Yes Series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang