Mimi
Kali terakhir aku nyaman berada di rumah ini, itu saat Mama masih ada. Itu pun harus berakhir dengan kepedihan. Di hari-hari terakhir usianya, Mama menolak dirawat di rumah sakit. Mama sudah menyerah pada penyakitnya dan ingin menghabiskan hari terakhir di tengah keluarga.
Aku ingat saat itu, ketika Bapak memaksa agar aku ke sekolah tapi aku menokak. Aku meraung sekencang-kencangnya. Mas Andre juga menolak ke sekolah dan berakibat mendapat pukulan Bapak. Mas Andre harus menahan sakit dan tangis agar tidak mengundang amukan lebih lanjut.
Rumah ini tak pernah terasa sana lagi. Apalagi sejak Tante Devi pindah dan tinggal di sini. Aku menunggu sampai lulus SMA dan angkat kaki dari rumah. Tinggal di kos saat kuliah nyatanya jauh lebih baik untuk kesehatan mentalku.
Pagi ini, suasana tambah canggung berkat kehadiran Om Satrio. Sejak percakapan dengannya semalam, Om Satrio terlihat berbeda di mataku. Dia bukan lagi Om paling cool sedunia. Sosoknya tak lebih dari seorang tukang selingkuh yang manipulatif.
"Darius mau datang. Kamu yang rapi, jangan bikin malu."
Aku menahan diri untuk tidak membalas peringatan Bapak.
"Darius?" Tanya Om Satrio.
"Anaknya Prabu."
Sepertinya Om Satrio mengenal Om Prabu.
"Kalau dia seperti ayahnya, kamu beruntung, Mimi. Om kenal Prabu. Dia sangat baik, pekerja keras. Om setuju kamu sama Darius," timpal Om Satrio.
Dulu aku akan langsung percaya pada Om Satrio. Sekarang, apa pun yang keluar dari mulutnya, tidak bisa kupercaya.
"Kamu masih sama pacarmu itu?" Hardik Bapak.
Aku mengangguk. "Namanya Oslo."
Aku meringis saat melanjutkan sandiwara ini. Di depan Bapak hubungan itu memang pura-pura, tapi di dalam hatiku, aku menginginkan hubungan tersebut berubah jadi kenyataan.
A girl can dream.
"Terserah, Bapak enggak peduli. Apa yang kamu lihat dari dia? Dia sudah tua, kerjanya enggak jelas," ucap Bapak.
"Bapak sama Tante Devi juga jaraknya jauh, kenapa beda umurku dan Mas Oslo jadi masalah?" Tantangku.
Tante Devi berunur 20 tahun saat menjadi selingkuhan Bapak yang waktu itu sudah berumur 40 tahun.
Bapak menatapku tajam, jelas tidak suka ketika aku mengutarakan hal yang sangat jelas.
"Kerjaannya juga jelas. Enggak cuma militer satu-satunya karier, Pak. Lihat Om Satrio." Aku sengaja menjadikan Om Satrio sebagai perisai.
"Jangan samakan dia dengan Om kamu. Paling tidak, perusahaan tempat Om kamu bekerja jelas, dikenal publik, hasil kerjanya nyata. Itu yang kamu harus tahu," tukas Bapak dengan suara kerasnya yang menggelegar.
"Kalau Bapak nonton TV atau lihat di internet, iklan yang diomongin itu hasil kerja Mas Oslo. Ada kok hasilnya." Aku enggak mau kalah. "Kalau Bapak ngomong sama orang periklanan, semua orang kenal Mas Osli."
Wajah Bapak semakin masam, membuatku kian berani unguk mempertahankan pendapat. Aku tahu percuma membela Oslo karena hubunganku dengannya tidak pernah ada. Namun aku tidak mau mendengarkan Bapak merendahkan orang yang aku sayang.
"Enggak penting. Enggak ada gunanya untuk masyarakat."
Bapak tak lebih dari seorang munafik. Menampakkan citra sebagai abdi negara yang peduli pada masyarakat, tapi tidak pernah menunjukkan kasih sayang pada keluarga. Bapak mungkin punya citra bagus di luar sana, membuatnya dilirik partai politik untuk maju di pemilu setelah pensiun, tapi di mataku, Bapak tak lebih dari sosok otoriter yang egois.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Baby! (Buku Kedua dari Yes Series)
RomanceSetelah bercerai, Oslo memutuskan untuk tidak pernah terlibat dengan perempuan dan fokus pada advertising agency yang baru dirintisnya. Janji tersebut buyar karena kehadiran Miranti, karyawan baru yang langsung mengusik Oslo sejak hari pertama. Mira...