The Morning After

33.8K 1.6K 58
                                    

Senyum lebar terkembang di wajahku, meski tubuhku nyaris mau rontok. Oslo enggak main-main, dia benar-benar membuktikan ucapannya. Rasanya ingin berbaring terus, tapi aku butuh kopi untuk memulai hari.

Oslo masih terlelap di sampingku. Rasanya masih seperti mimpi mendapati dia berada di tempat tidurku. Aku menghabiskan sepuluh menit paling berarti dalam hidupku untuk memperhatikan dia. Napasnya yang teratur membuat dadanya naik turun. Kalau sedang tidur begini, dia tidak terlihat sedingin biasanya. Mulutnya yang sedikit terbuka membuatnya terlihat menggemaskan.

Kulitnya yang gelap tampak kontras di atas seprai putih. Kehadirannya di kamarku memang kontradiktif. Tall, dark, and dangerous. Terlihat out of place di kamarku yang berwarna pastel.

Mataku mengamati bibirnya yang tebal, membayangkan betapa menggiurkannya bibir itu saat menciumku. Pandanganku jatuh ke pundaknya yang lebar, lengannya yang kekar dan berotot, dada bidang yang menawarkan kenyamanan sebagai tempat berbaring. Tubuhnya yang gagah dan perkasa menunjukkan hasil olah raga yang enggak main-main. Pun dengan otot perutnya yang tercetak sempurna. Aku bisa orgasme hanya dengan memandangi tubuhnya.

Tatapanku beranjak ke bawah perutnya. Rambut-rambut halus yang tumbuh di sana menggiring mataku hingga tertumbuk di kejantanannya. Aku terkesiap, pantas tubuhku berubah jadi jeli. Penis sebesar dan perkasa seperti itu bisa membuat siapa saja berubah jadi jeli.

Satu hal untuk menggambarkan Oslo. Unreal.

Aku menghela napas sebelum menangkat tubuh. Butuh tenaga ekstra untuk menggerakkan tubuhku. Aku memaksa kaki beranjak menuju lemari dan mengambil baju pertama yang kulihat. Kalau saja tidak butuh kopi, aku akan menunggu Oslo sampai bangun.

Senyum di wajahku mendadak hilang saat mendapati tatapan ingin membunuh dari Nava dan Pat begitu aku sampai di ruang makan. Nava tengah menyeduh kopi sementara Pat memangku Pussy. Kucing itu langsung turun dari pangkuan Pat dan menuju singgasananya di sudut ruangan ini.

"Morning," sapaku. "Kalian kenapa, sih? Mukanya ditekuk gitu. Enggak bisa tidur nyenyak semalam?"

"Gara-gara lo, Monyet," sembur Nava.

"Gue?" Tanyaku sambil mengambil tempat di samping Pat. Aku meraih cangkir dan menyodorkannya ke arah Nava. Kopi buatannya enak dan dia sangat protektif dengan mesin kopinya. Jangan harap ada yang boleh memakai mesin itu di depan matanya.

"Lo menjerit-jerit keenakan dan gue rungsing semalaman enggak bisa tidur. Puas?" Hardik Nava.

Aku menahan tawa. Semalam aku lupa akan semuanya, termasuk kedua temanku.

"Apalagi gue. Kamar gue pas di sebelah lo. Gue pikir lo mimpi buruk, hampir aja gue samperin. Tahunya teriak keenakan." Pat menggerutu.

Aku menyeringai di depan temanku. "I'm not sorry. Abisan dia enak banget."

Nava mendengkus. "Pantesan lo glowing begitu setelah selama ini muka lo butek."

Aku menangkup wajah dengan kedua tangan dan tersenyum lebar. "All I need is a good sex to make me glow."

Pat dan Nava serempak memasang wajah jijik.

"Ini enggak sekadar orgasme." Aku membuat gerakan tangan seolah ada yang meledak. "Explosive orgasm."

Kedua temanku tidak perlu tahu soal petualangan di dalam kamarku tapi aku tidak bisa berhenti.

"Cuma lihat kontolnya aja udah bikin gue kelojotan. Asli, BBC di film porno lo enggak ada artinya," lanjutku.

Aku menerawang dan benakku memutar ulang semua yang terjadi semalam. "Lo bayangin, udahlah gede dan dia tahu cara makainya. G spot gue langsung heboh karena dia tahu tempatnya di mana."

Yes, Baby! (Buku Kedua dari Yes Series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang