Mimi
Sejak kecil, aku tidak dekat dengan Bapak. Hanya Mama yang menyayangiku. Sayang, Mama meninggal ketika aku berumur 5 tahun.
Setahun setelah Mama meninggal, Bapak menikah lagi. Aku semakin merasa dikucilkan di rumahku sendiri. Bapak hanya peduli pada Mas Andre yang sejak kecil sudah ditentukan untuk mengikuti karier bapak di militer. Ibu tiriku hanya peduli pada Aldo, adik tiriku.
Aku?
Tidak ada yang peduli padaku.
Ibu tiriku bukan tipe ibu tiri jahat seperti di sinetron. Dia hanya tidak peduli. Hanya sesekali, saat di depan orang banyak, dia menunjukkan perhatian. Itu pun atas perintah Bapak.
Di mata keluargaku, aku invisible.
Jadi aku tidak mengerti mengapa Bapak bersikeras aku harus selalu datang di setiap acara yang diadakannya.
"Mau mundur?"
Aku melirik Oslo yang menyetir di sampingku. "Kalau aja bisa udah mundur dari kapan tahu, Mas."
Oslo terkekeh. "Nanti mau di-drop di rumahmu atau ikut ke hotel?"
Aku meringis mendengar pertanyaan Oslo. "Aku ikut ke hotel. Males banget pulang ke rumah."
Oslo berusaha melirikku meski perhatiannya tertuju ke jalan di hadapannya. Tol menuju Bandung lumayan padat pagi ini.
"Bisa kasih heads up apa yang bakal aku hadapi nanti?" Tanyanya.
Seharusnya aku memberitahu Oslo soal Bapak, tapi tidak ada waktu. Seminggu terakhir dia berada di Singapura, membuatku pesimis dia masih ingat dengan janjinya menemaniku ke Bandung. Aku seperti mendapat kejutan ketika semalam Oslo memberitahu dia akan menjemputku pagi-pagi sekali agar bisa sarapan di Bandung.
"Ini ulang tahun pernikahan Bapak dan ibu tiriku. Aku enggak begitu dekat dengan mereka." Aku berusaha mencari kata yang tepat untuk menunjukkan Bapak tidak seburuk yang selama ini ada di pikiranku. "Bapak tentara, makanya keras. Jadi jangan kaget kalau lihat Bapak agak kasar. He's quite intimidative."
Meski saat menatap Oslo aku jadi bertanya-tanya, siapa yang lebih intimidatif antara Bapak atau Oslo?
"Bapak maunya aku menikah sama tentara juga, makanya Bapak enggak suka sama orang sipil." Aku melanjutkan.
Di luar dugaan, Oslo terkekeh.
"Now I know why you asked me."
Aku menyengir. "Aku capek hidupku diatur-atur Bapak. Baru saat pindah ke Creativa aku menentukan hidupku sendiri. Sebelumnya semuanya ikut pilihan Bapak. Kantorku sebelumnya juga titipan Bapak," lanjutku.
"Mantan pacarmu?"
Aku mendengkus saat ingat Drew. "Omnya Drew militer makanya Bapak sedikit melunak."
Oslo mengangguk kecil. "Terus?"
"Aku enggak tahu tujuam Bapak sekarang apa. Sebelum sama Drew, Bapak pernah jodohin aku sama tentara." Aku memberitahu. "Bapak marah besar waktu aku putus sama Drew. Makanya aku curiga Bapak mau jodohin aku lagi biar aku jadi Ibu Persit."
Oslo tertawa kencang. Tawanya terdengar benar-benar menyebalkan. Kalau saja dia tidak menyetir, aku sudah menghajarnya agar dia berhenti menertawakanku.
"Kanu enggak ada tampang buat jadi Ibu Persit Mi."
Aku memberengut. "Itu dia. Aku juga tahu. Tapi Bapak mana peduli. Anak-anaknya ada kan buat memenuhi ambisi dia."
Oslo sudah berhenti tertawa, meski saat dia menatapku, binar geli di matanya masih ada.
"Jadi kamu mau kita pura-pura pacaran lagi?" Tanyanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Baby! (Buku Kedua dari Yes Series)
RomanceSetelah bercerai, Oslo memutuskan untuk tidak pernah terlibat dengan perempuan dan fokus pada advertising agency yang baru dirintisnya. Janji tersebut buyar karena kehadiran Miranti, karyawan baru yang langsung mengusik Oslo sejak hari pertama. Mira...