Mimi
Labuan Bajo sukses menawan hatiku. Aku ingat ucapan Nina, kalau saja bisa, aku ingin selamanya tinggal di sini. Namun kenyataan berkata lain, ini hari terakhir di Labuan Bajo. Belum juga pergi, tapi aku sudah kangen dengan udaranya yang segar, pantainya yang cantik, dan kedamaian yang ditawarkan.
Dengan enggan, aku bangkit dari tempat tidur. Tubuhku rasanya ingin rontok. Setelah aktivitas seharian kemarin yang sangat menyita tenaga, malamnya Oslo juga membuatku tak berkutik.
Aku menyambar bathrobe dan beranjak menuju kamar mandi. Aku mengerang saat menatap pantulan bayanganku di cermin. Bakal cambang Oslo meninggalkan jejak berupa ruam merah di sepanjang leher dan pundakku. Bekas kemerahan itu tampak begitu jelas, di beberapa tempat juga terdapat bekas isapan Oslo.
Terpaksa aku harus memakai pakaian tertutup. Membayangkannya sudah membuatku gerah, tapi aku tidak punya pilihan lain.
Not that I'm complaining. Kalau detik ini Oslo menghampiriku dan kembali mencumbuku, dengan risiko ruam merah di kulit yang bisa membuat siapa pun curiga, aku tidak keberatan.
He's hard to resist.
I don't want to resist him.
Aku berbalik dan menuju bathtub. Aku membuka vertical blind dan pemandangan di luar sana membuat bathtub tersebut semakin memanggil-manggilku. Berhubung ini hari terakhir dan jadwal tidak begitu padat, aku putuskan untuk bermanja-manja.
Setelah mengisi bathtub dengan air hangat, lalu memasukkan sabun organik yang disediakan pihak resort, aku menanggalkan bathrobe dan melangkah masuk. Aku mengerang nikmat saat air hangat memeluk tubuhku.
Pagi ini akan semakin sempurna kalau Oslo bergabung denganku, tapi dia belum menunjukkan tanda-tanda akan segera terbangun. Aku butuh momen ini, sehingga tidak mau menunggu Oslo.
"Enjoying your tub?"
Aku tersentak saat mendengar suara Oslo. Aku mengerjapkan mata untuk menyesuaikan dengan cahaya terang di sekeliling. Tanpa sengaja, aku malah ketiduran.
Oslo berdiri di samping bathtub. Tanpa suara, dia melangkah masuk dan bergabung bersamaku. Oslo menempati sisi berbeda, hingga kakinya bersentuhan denganku. Bagian atas tubuhnya tidak tertutup oleh air dan buih sabun, menampakkan dadanya yang bidang dan seksi. Apalagi di belakangnya, langit biru menjadi backdrop sempurna untuknya.
Aku meneguk ludah. Tidak bisa dicegah, hasratku terpanggil karena pemandangan di hadapanku.
"Diam aja dari tadi?" ledek Oslo. Dia menggerakkan kakinya, sengaja menyentuhku.
"Ganggu aja, orang aku lagi berkontemplasi," sahutku asal.
Oslo mencibir. "Berat banget, Mi, bahasanya. Masih pagi."
"Mas, hidup itu penuh kontemplasi."
Oslo mencipratkan air ke arahku, membuatku berhenti bicara. Dia terus mencipratkan air, membuatku melindungi wajah dengan tangan meski tahu itu sia-sia.
"Come here," ujarnya, tidak lagi mencipratkan air.
"No, you come here."
Oslo mengangkat sebelah alis, menantangku untuk mendekatinya. Aku bergeming di tempat, melawan keinginan hatiku untuk mendekati Oslo.
"Are you sure?" tantangnya.
"Are you sure?" balasku.
Oslo tertawa kecil. "Mau main-main, Mimi?"
Aku mengangkat pundak. "Mas Oslo kali yang mau main-main."
Tatapan Oslo menggelap. Aku bisa melihat dia mulai frustrasi dengan permainan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Baby! (Buku Kedua dari Yes Series)
RomanceSetelah bercerai, Oslo memutuskan untuk tidak pernah terlibat dengan perempuan dan fokus pada advertising agency yang baru dirintisnya. Janji tersebut buyar karena kehadiran Miranti, karyawan baru yang langsung mengusik Oslo sejak hari pertama. Mira...