Last Night Kiss

32.4K 1.5K 23
                                    

Mata Oslo tidak pernah beranjak dariku, seiring dengan semakin berkurang jarak di antara kami. Saat hanya tinggal beberapa langkah lagi, aku melihat senyum miring tersungging di wajahnya.

Dia tak ubah seperti predator di alam liar, dan aku mangsa empuk yang dengan bodoh menyerahkan diri ke tangan si predator.

"Hai, remember me?" Tanyaku. Aku memasang senyum lebar untuk menyembunyikan perasaanku yang sebenarnya.

Bahwa, yang ingin kulakukan saat ini adalah lari sejauh mungkin dan melupakan apa yang terjadi di Bali.

Kembali menjadi Mimi yang sebenarnya.

Berakhirnya hubunganku dan Drew tidak hanya berdampak pada hancurnya hatiku, tapi juga membuatku kehilangan kepercayaan diri. Melakukan apa pun selalu berdua dengan Drew membuatku gamang saat harus menjalani hidup sendiri. Tanpa kusadari, aku membiarkan hidupku berpusat pada Drew.

Saat setuju dengan ajakan Pat dan Nava kembali, salah satu alasannya adalah aku ingin mengambil kembali kendali atas diriku. Aku ingin melakukan apa pun berdasarkan keinginanku, tanpa memikirkan apa pun. Termasuk konsekuensi.

Mimi tidak akan berpesta dengan tujuan mencari booty call. Mimi juga tidak akan pernah berciuman dengan stranger. Dan yang pasti, Mimi tidak akan pernah flirting tanpa kendali seperti ini.

Namun, saat aku duduk di hadapan Oslo, membiarkan tatapannya menjelajahi tubuhku, aku menyadari bahwa ada bagian hatiku, yang selama ini selalu aku bungkam keberadaannya, kini memberontak ingin lepas.

Aku menghela napas panjang.

Que sera sera.

Whatevet will be, will be.

"How can I forget?" Balas Oslo.

Aku tertawa tipis. Momen itu kumanfaatkan untuk meneliti Oslo, mumpung cahaya matahari masih menyala sehingga aku bisa menelitinya dengan jelas.

Dari balik cahaya remang semalam, aku tahu dia ganteng. Dia juga mempunyai tubuh tinggi berotot. Juga tatapan tajam yang menghipnotis.

Kulitnya yang gelap semakin menonjol akibat kaus putih yang dipakainya. Aku harus menahan napas saat Oslo membuka tutup botol, membiarkan otot-otot lengannya berkedut. Pun ketika dia menenggak minuman dari botol, aku tidak bisa mengalihkan perhatian dari jakunnya yang bergerak naik turun.

Saat itulah aku melihat matanya. Bola mata cokelat yang jernih, dengan binar nakal yang menatapku penuh godaan. Oslo memiliki alis tebal yang membuat tatapan matanya semakin tajam. Rambutnya sedikit ikal dan agak panjang, ujungnya menyentuh tengkuk.

Kalau Oslo memutuskan menjadi model, aku yakin akan banyak terjadi kecelakaan karena perempuan tidak bisa mengendalikan kemudi saat melihat fotonya di billboard. Apalagi kalau dia bertelanjang dada, aku yakin siapa pun akan berhenti untuk mengagumi salah satu keindahan ciptaan Tuhan ini.

"Checking me out?"

Harusnya aku malu karena tertangkap basah tengah menelitinya, tapi yang kulakukan justru sebaliknya. Aku sengaja menopang tangan di bawah dagu dan mencondongkan tubuhku ke atas meja.

Mimi yang biasanya tidak akan melakukan hal gila ini.

But nevermind.

"Yup, sayang aja udah ganteng-ganteng malah dicuekin."

Oslo menarik senyum tipis. "Siapa lagi yang jadi korban analisa psikologi ngasal lo di sini?"

Aku tergelak saat ingat analisa sotoy yang kulakulan semalam.

"Belum ada. Enggak ada yang memasang tampang miserable soalnya," timpalku.

Oslo mendengkus. "Menurut lo, gue miserable?"

Yes, Baby! (Buku Kedua dari Yes Series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang