Desah Napas

37.7K 1.3K 13
                                    

Oslo

Dengan tergesa-gesa, aku membuka pakaian Mimi. Bikini sialan yang membuatku gelap mata sepanjang sore ini harus segera lepas dari tubuhnya.
Mataku memandangi tubuhnya. Fuck, she's hot. Aku ingin terus memandanginya, tapi penisku sudah meronta-ronta ingin merasakan tubuh Mimi.
Aku merebahkannya di tempat tidur. Bibirku langsung melumat bibirnya. Erangan tertahan yang keluar dari mulutnya membuatku semakin bernafsu.
She's playing with me. Godaan demi godaan yang dilemparkannya hanya membuat hasratku mendidih. Aku menahan diri, tapi tubuhku tahu apa yang dia inginkan.
I want Mimi. I want to bury my cock inside her pussy.
Aku menahan kedua tangan Mimi di atas kepala dan mencumbunya lebih dalam lagi. I can kiss her for hours. Days. Forever.
Mimi menggerakkan tubuhnya yang berada di bawahku, meningkahi tubuhku yang menindihnya. Dia pasti bisa merasakan betapa kerasnya penisku yang menusuk dari dalam boxer.
Aku melepaskan ciuman, membuat Mimi menarik napas panjang. Aku melarikan lidah di sepanjang lehernya, aku menciumi pundaknya dan turun ke perutnya. Sengaja menghindari payudaranya. Itu tujuan terakhirku. Aku menciumi seluruh tubuhnya, merasakan Mimi menggelinjang di balik ciuman dan sentuhanku.
"Mimi..." desisku sebelum merangkak naik dan menyambar payudaranya. Favoritku.
Lidahku mengusap putingnya yang keras. Tubuh Mimi langsung menggelinjang akibat usapan lidahku, membuatku semakin ingin menyiksanya.
This is my sweet revenge.
"Mas, please..." rengek Mimi.
Aku tertawa. "Ini balasan untuk semua godaanmu sore ini."
Mimi mengerang, memohon agar aku segera memasuki tubuhnya. Aku sengaja berlama-lama, memberikan siksaan, menikmati tubuhnya dengan caraku.
Aku meraup payudaranya ke dalam mulutku, mengisap putingnya dengan lahap, sementara Mimi menggelinjang hebat. Tanganku yang bebas meraih payudaranya yang lain dan meremasnya, membuat Mimi semakin meronta.
Ketika aku pindah ke payudaranya yang lain dan mulutku memberikan siksaan yang sama, jariku beranjak menuju liang senggamanya.
"You're so wet, Baby," ucapku.
"Menurutmu?" Balas Mimi ketus, membuatku terkekeh.
"Enak banget menyusu sama kamu," ujarku lagi, dan kembali menyiksa Mimi dengan mulutku.
"Yes, terus Mas." Permintaan Mimi seperti cambuk yang membuatku tak henti memanjakannya.
Ibu jariku mengusap klitorisnya. Mimi melengkungkan punggung untuk menikmati sensasi yang kuberikan.
"Arghhh... Mas, yang cepat," pintanya ketika aku melesakkan jariku ke dalam liang senggamanya.
Mimi kembali meraung ketika aku memasukkan satu jari lagi. Dengan mulutku masih menyusu di payudaranya, ibu jariku mengusap klitorisnya, dan dua jariku menyiksa vaginanya, Mimi tak henti-hentinya meraung penuh kenikmatan.
Mimi begitu ekspresif. Dia tidak menahan diri. Dia membiarkan tubuhnya bereaksi meningkahi setiap rangsanganku. Tubuhnya seakan melecutku dan membuatku kian bergairah.
Mimi mencengkeram lenganku, napasnya tertahan. Aku mengintip dari balik mata, menikmati betapa cantiknya Mimi saat nafsu menguasainya. Dia tengah melawan gelombang rasa puas yang siap menghantamnya.
Tubuhnya bergerak kian liar. Cengkeramannya semakin keras, aku yakin kukunya akan meninggalkan jejak di sana. Melihatnya yang terengah-engah membuatku semakin bergairah. Aku mengisap payudaranya lebih keras lagi, menusukkan jariku dengan cepat dan liar, mengakibatkan tubuhnya menegang.
"Fuck, Mas..." Jeritannya terdengar begitu keras. Tubuhnya menegang saat orgasme menyapanya. Tak lama, tubuhnya bergetar.
"Peluk aku, please."
Menggunakan satu tangan, aku mendekapnya. Berharap bisa meredakan getaran tubuhnya. Mimi terus mengerang sementara serangan orgasme masih menguasainya.
"You're so beautiful, Mimi." Aku meninggalkan payudaranya dan meraih bibirnya. "I love it when you come like this."
Mimi memaksakan diri untuk tersenyum. Matanya sayu akibat serangan dahsyat yang menghantamnya barusan.
Pria mana pun akan kehilangan akal sehat kalau melihat Mimi orgasme sehebat tadi.
"Cuma aku yang bisa membuatmu orgasme seperti ini, berkali-kali." Aku kembali menciumnya.
"Yes, just you." Pengakuannya hanya membuatku semakin besar kepala.
Dan membuat penisku semakin memberontak.
Dengan berat hati, aku melepaskan Mimi untuk membuka pakaianku. Aku begitu tergesa-gesa. Satu detik terbuang tanpa menyentuh Mimi adalah waktu yang sangat berharga.
Aku mengambil kondom dari atas nakas dan memasangnya, tidak ingin membuang waktu lebih lama.
"On your knees," ujarku.
Mimi berbalik dan mengangkat tubuhnya hingga bertumpu di siku dan lutut. Aku menampar bokongnya yang menggiurkan sebelum memposisikan diriku di belakangnya. Dengan sekali sentakan, penisku berada di tempat yang seharusnya.
Dalam tubuh Mimi.
"Shit, kamu sempit banget, Babe." Mimi mencengkeramku dengan sangat hebat, membuatku harus menahan diri agar tidak selesai detik ini juga.
Cengkeraman Mimi bisa membuat pria paling perkasa sekalipun, hanya bertahan beberapa detik.
Aku menahan pinggangnya dan menggerakkan tubuhku. Penisku menghantamnya. Mimi menggerakkan tubuhnya untuk menyambutku, membuatku semakin bergairah. Aku mempercepat gerakanku, membiarkan penisku menghantamnya dengan keras dan dalam. Setiap lenguhan yang keluar dari mulut Mimi adalah cambuk yang memacuku untuk memberikan sekaligus mereguk kenikmatan ini.
Saat mataku menangkap bayangan di cermin, aku melihat Mimi meremas payudaranya sendiri. Pemandangan yang sangat indah, membuatku kian berhasrat.
Aku menarik rambutnya hingga dia mendongak dan pandangannya beradu denganku lewat perantara cermin.
"Look at you, so greedy." Aku menggeram.
Mimi menyahuti dengan meremas payudaranya lebih liar lagi.
I can fuck her for hours. Days. Forever.
Aku tidak ingin berhenti.
Seks dengan Mimi selalu menghadirkan nafsu binatangku.
I am an animal for her.
"Mas, aku sudah enggak kuat."
Aku merangkul pinggangnya dan menahannya. Mimi sudah tak berdaya, tapi tubuhnya masih menginginkanku. Aku mempercepat gerakanku, mengimbangi Mimi yang kembali menyambut rasa puas.
Saat aku menghentaknya dengan keras, Mimi berteriak kencang. Dia memukul bantal di bawahnya, meresapi setiap kenikmatan yang melanda tubuhnya.
Melihat Mimi mengalami orgasme hebat hanya membuatku semakin besar kepala. Dari pantulan cermin, aku melihat ekspresi penuh kenikmatan di wajah Mimi, dan pemandangan itu hanya membuatku semakin bernafsu.
Orgasmenya belum sepenuhnya reda ketika aku kembali menghantamkan penisku. Mimi terkesiap, meski dia terlihat tak berdaya, tubuhnya berkata lain. Tubuhnya memberitahu bahwa dia masih menginginkanku.
This is my favorite. Menggagahi Mimi dari belakang, menikmati bokongnya yang bulat sempurna, payudaranya yang berayun seiring hentakan penisku di dalam tubuhnya, vaginanya yang mencengkeramku dengan dahsyat, membuatku semakin bergairah.
"Mas, please please please..."
"Kamu memohon untuk apa?" Kuputuskan untuk mempermainkannya. Aku sengaja berhenti menggerakkan penisku.
"Jangan berhenti, please. Aku mau kamu. Please, Mas." Mimi merengek.
"Mau apa?"
"Kontol," desahnya.
Aku tertawa kecil. Lalu, menghantamnya sekali.
"Yes, ruin me with your cock."
Aku menggeram. Permintaan Mimi sama seperti pecutan yang membuat hasratku makin tidak terbendung.
Mimi mengerang ketika aku menyentaknya dengan keras.
"Yes, Baby. I'll ruin your pussy," desisku. Tubuhku semakin liar, aku tidak bisa lagi mengendalikan tubuhku. Nafsu mengambil alih. Kubiarkan hasrat menguasai diriku. Aku hanya ingin mereguk kenikmatan ini bersama Mimi.
Tak lama lagi, aku akan menyerah.
"Tell me, Baby. Kamu mau aku keluarin di mana?"
Mimi mengerang, susah payah menjawab pertanyaanku.
"Mulutku."
Aku menggeram saat melepaskan diriku dalam tubuh Mimi. Mimi memutar tubuhnya hingga berbaring. Dia menjulurkan lidah, siap menampung cairanku.
She's so fucking hot.
Aku melepaskan kondom. Penisku begitu besar dan keras, siap untuk menumpahkan hasrat yang terkurung di dalam sana. Aku mendekati Mimi dan mengangkangi tubuhnya hingga penisku berada tepat di atas mulutnya. Aku menggunakan tangan untuk memancing hasratku, tapi pemandangan Mimi di bawahku, dengan lidah terjulur hendak menerima tumpahan hasratku, selamanya akan terbenam di dalam benakku.
"Take it, Baby," geramku saat cairan putih keluar dari kepala penisku.
Cairan itu jatuh ke lidah Mimi. Membuat hasratku semakin tidak terbendung.
"Di mana lagi?" Tanyaku.
"Di susuku."
Aku bergerak turun dan mengarahkan penisku ke payudaranya. Setiap tetea cairanku yang menyentuhnya, membuatku kembali dilanda gairah. Aku menuntaskan semua hasratku di tubuhnya hingga tak ada yang tersisa.
Mimi berbaring dengan senyum lebar dan tubuhnya yang dihiasi cairanku. So sexy as hell.
Matanya yang sayu begitu menggoda saat dia menjilati bibirnya, meraup semua cairanku yang memenuhi wajahnya.
Mimi mengusap cairanku di payudaranya, membiarkan cairanku memenuhi susunya yang indah itu.
Sementara aku hanya bisa menatapnya penuh nafsu.
Aku menciumnya, merasakan sisa kehadiranku di bibirnya.
"Next time, Baby. I'll come inside you," bisiknya.
Membayangkan bisa menumpahkan hasratku di dalam tubuhnya membuat penisku berkedut, memberi tanda bahwa aku menginginkan Mimi.
"What do you say, Baby?"
Mimi tersenyum. "Yes, please."
***

Dering telepon membangunkanku. Aku berusaha mengabaikannya, tapi nada itu kupasang khusus untuk Mama, dan mengabaikan telepon Mama sama saja dengan cari mati.
Sepertinya aku harus mengingatkan Mama lagi soal perbedaan waktu, sehingga beliau tidak meneleponku di tengah malam buta seperti ini.
Great. Mama melakukan video call.
"Hai, Mam," sapaku. Di layar, wajah Mama tampak ceria. Berbanding terbalik denganku yang bahkan untuk membuka mata saja susahnya minta ampun.
"Where are you?"
"Labuan Bajo," sahutku.
Di seberang sana, Mama menjerit girang. "I miss that place."
Sementara Mama mengenang salah satu momen liburannya ke Labuan Bajo, aku menyibak selimut. Lantai yang dingin membuatku meringis saat kakiku menjejak lantai. Mataku memandang sekeliling, berusaha mencari celana atau apa pun yang bisa menyembunyikan tubuh telanjangku, tapi tidak menemukan apa-apa.
"Kamu sama siapa?" Mama menatapku penuh ingin tahu.
"Hah?"
Mama tertawa pelan. "Itu, yang tidur di belakangmu."
Sontak aku menoleh ke balik punggung dan mendapati Mimi tertidur lelap. Aku begitu tergesa-gesa mengangkat telepon Mama, tanpa sengaja menarik selimut hingga setengah tubuh Mimi terbuka.
Mama baru saja melihat seorang perempuan telanjang tidur bersamaku.
Shit. Shit. Shit. Shit.
"No one," sahutku, buru-buru bangkit berdiri dan menjauh dari Mimi, meski tindakanku percaya.
"Mamamu belum buta, Oslo."
"I know." Aku meringis saat dingin menghantam tubuhku. "She's ... a friend."
Mama mendecakkan lidah. "Itu artinya Rosie sudah enggak ada urusannya lagi denganmu?"
Aku kembali meringis, tapi kali ini karena pertanyaan Mama.
"Ma, I'm fine."
"I know you're fine," potong Mama. "Yang tadi Mama lihat jadi bukti bahwa kamu baik-baik saja."
Aku menekan batang hidung untuk menekan pusing yang hadir karena Mama.
"Perempuan itu sudah membuang waktumu, jadi Mama senang kalau akhirnya kamu sudah membuka diri lagi," lanjut Mama.
"Ma, aku dan Mimi cuma teman."
"Mimi? What a cute name."
Aku mengerang tanpa suara sementara Mama malah tertawa. Aku yakin, begitu telepon ini selesai, Mama akan memberitahu Papa soal Mimi. Tidak ada rahasia di antara mereka. Jadi, aku harus menguatkan diri untuk menghadapi ledekan mereka berdua.
Sejak tahu apa yang terjadi pada Rosie, Mama punya misi lain. Dia ingin aku segera move on dari Rosie. Bagi Mama, pernikahanku tak lebih dari sebuah kesalahan dan membuang waktuku.
"Oke, Mama nelepon untuk apa?" Aku mengalihkan pembicaraan.
"Kamu jadi datang di Thanksgiving dan Natal?"
Aku kembali menekan hidung. "Aku usahakan."
"Oslo, sudah dua tahun kamu tidak merayakannya bersama keluargamu. Gara-gara perempuan itu."
Orang tuaku tidak bisa menerima Rosie sepenuhnya. Mama tidak bisa menjelaskan, tapi Mama sering mengaku tidak ada chemistry antara dirinya dan Rosie. Meski begitu, orang tuaku masih berusaha mendekati Rosie meski terkendala jarak. Sekarang kusadari, Rosie sama sekali tidak berusaha untuk bisa dekat dengan orang tuaku.
Salah satu alasanku menunda kepulangan karena tidak ingin bertemu mereka dan menyadari Mama benar. Dua tahunku terbuang percuma karena Rosie.
"Aku usahakan."
"I don't want to lose you, Son."
Ucapan Mama seperti pisau yang ditancapkan ke jantungku.
"I'll be there." Meski aku sudah berjanji, tetap tidak bisa menghapus kekecewaan di wajah Mama.
Aku berusaha membuatnya kembali ceria, tapi Mama menyudahi panggilan telepon itu.
Bukannya kembali tidur, aku menatap kegelapan malam dari balik jendela. Peringatan Mama membuat hatiku teriris.
Selama ini aku berada di antara Rosie dan keluargaku. Aku lebih memihak Rosie sebagai istriku. Itulah yang membuatku sangat kecewa atas pengkhianatan Rosie. Karena dia aku sempat berjarak dengan keluargaku.
"Mas?" Panggilan Mimi memutus lamunanku.
Aku memutar tubuh dan mendapati Mimi menepuk sisi yang tadi kutempati. Tidak ada pertentangan di tubuhku ketika aku menghampiri Mimi dan berbaring di sampingnya.
Juga ketika aku memeluk Mimi.
"Everything's okay?"
"Yeah," sahuku. "All is good."
Namun kalau aku mau jujur, aku akan tahu kalau hatiku tidak baik-baik saja.

PS: versi lengkap + 10 extra part sudah tersedia di KaryaKarsa

Yes, Baby! (Buku Kedua dari Yes Series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang