The Loser

17.6K 1.5K 45
                                    

Oslo

"Fuck," jeritku. Aku melempar gelas hingga melewati kitchen island dan jatuh ke lantai hingga pecah berkeping-keping.

Gelas itu bergabung dengan botol bir yang sudah lebih dulu pecah karena lemparanku.

Kenapa semuanya jadi kacau?

Aku tidak bisa mengusir Mimi dari benakku. Ekspresi wajahnya yang terluka akan selalu menghantuiku. Juga pengakuannya yang terngiang di benakku, tanpa bisa kuenyahkan.

"Argh..." Aku meninju dinding, tidak peduli pada buku jariku yang berdarah setelah sebelumnya juga melakukan hal yang sama.

Kenapa jadi begini? Aku menjambak rambut, berharap ini semua mimpi dan aku terbangun dari kekacauan ini.

Dari semua orang di dunia ini, Mimi berada di daftar terakhir yang ingin kusakiti. Namun malam ini, aku malah menyakitinya.

Aku tidak pernah menghendaki Mimi mencintaiku. Seharusnya dia tidak jatuh cinta kepadaku. Dia membenci peselingkuh, dan dia tahu aku bermain mata dengan Diana di belakang Rosie. Apa pun alasan di baliknya, tetap saja aku selingkuh. Seharusnya hal itu cukup jadi pengingat agar Mimi tidak jatuh cinta kepadkau.

Mimi sendiri yang menegaskan bahwa hubungan ini tidak akan berhasil jika dibawa keluar dari tempat tidurnya. Mimi yang memulai semuanya. Dia begitu yakin bisa menjalani permainan ini.

Mengapa dia jatuh cinta?

Tidak seharusnya Mimi jatuh cinta pada laki-laki yang secara emosi tidak stabil sepertiku. Mimi melihat sendiri dengan mata kepalanya semua kekacauan yang kubuat. Mimi juga mengetahui dilema yang kuhadapi terkait kehamilan Rosie. Dia seharusnya tahu situasi yang membelitku tidak memungkinkan untuk terlibat dalam hubungan personal yang mengandalkan hati dan perasaan.

Mimi seharusnya tahu.

Dan dia masih jatuh cinta kepadaku?

"Fuck," umpatku.

Aku ingin menyalahkan Mimi. Tidak seharusnya dia mencintaiku. Tidak seharusnya dia merusak perjanjian yang kubuat dengannya dan mengacaukan semuanya.

Namun aku tahu, aku tidak bisa menyalahkan Mimi. Ini bukan salahnya.

Ini salahku. Aku yang menggiringnya untuk jatuh cinta kepadaku meskipun aku tahu aku tidak siap untuk menerima cinta siapa pun.

Mimi begitu berharga. Begitu murni. Dia terlalu spesial untukku.

Aku tidak layak untuknya. Seharusnya dia mencintai pria yang bisa membalas cintanya dan memberikan seluruh dunia serta isinya kepadanya. Tidak ada yang bisa kuberikan kepadanya selain masalah dan beban hidup.

Dan dia masih saja jatuh cinta kepadaku?

Rasanya ingin mengguncang tubuhnya kencang-kencang dan menyadarkannya bahwa dia salah. Bukan cinta yang dirasakannya. Nafsu, kagum, dan perasaan sesaat lainnya lebih tepat untuk dirasakan.

Bukan cinta.

Fuck you, love!

Dering telepon membuatku terpaksa membungkam isi kepalaku. Dengan malas, aku beranjak dan mengambil handphone.

Mama selalu tahu kapan waktu yang tepat untuk menghubungiku. Aku ingin mengabaikannya, tapi Mama begitu gigih. Mama tidak akan meninggalkanku sampai aku mengangkat teleponnya.

"Yes, Mam."

"Hai, Darling. How are you?"

Bad. "Yeah, fine. Everything's good?"

Yes, Baby! (Buku Kedua dari Yes Series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang