Oslo
"Mau apa lagi dia?"
Aku mengikuti arah pandangan Mimi dan mendapati Rosie menunggu di lobi. Sudah dua mingu berlalu sejak aku pulang ke Indonesia dan kembali bersama Mimi, selama itu pula aku tidak memikirkan Rosie.
Namun saat melihatnya, aku tahu masalahku dan Rosie belum selesai. Aku tidak akan bisa memasuki hubungan dengan Mimi jika masih ada yang mengganjal di antara aku dan Rosie.
"Kita temui dia," ujarku.
Mimi memutar bola matanya. "Yang benar aja. Kamu sendiri aja sana, aku malas ketemu dia."
Melihat keengganan Mimi membuatku semakin besar kepala. Ini pertanda bahwa Mimi benar-benar mencintaiku.
"Biar semuanya jelas dan aku enggak mau ada salah paham di antara kita." Aku menggenggam tangan Mimi. "Kita temui dia, dengerin apa yang mau dia bilang, setelah itu kita pulang."
"Pulang ke mana?" tatapan matanya yang menggoda membuatku tertawa.
"Ke apartemenku. Aku enggak akan mengizinkanmu kembali ke rumahmu."
"Biasanya juga nolak."
"Not anymore." Aku mencium keningnya. "Come on, semakin cepat dia bicara, semakin baik. Kita bisa segera pulang, dan..." Aku mendekatkan bibir ke telinganya. "Aku mau bercinta di balkon malam ini."
Mimi menyikut rusukku dan mendahuluiku menghampiri Rosie sambil tertawa. Mata Rosie tidak berhenti memperhatikanku dan Mimi, dan anehnya, ada senyum di wajahnya.
"Mas, bisa kita bicara?"
Aku menarik pinggang Mimi hingga berada di pelukanku. "Aku dan Mimi mau makan. Sekalian saja, kalau ada yang mau kamu sampaikan."
Rosie melirik Mimi sekilas dan mengangguk. Jika dia keberatan Mimi ikut di pembicaraan ini, itu urusannya. Rosie mengikutiku menuju restoran Thailand di mal yang ada di kompleks yang sama dengan kantorku.
"Sebelum kamu mulai, ada yang mau aku beri tahu." Aku mendahului.
Aku sudah memberitahu Mimi soal keputusanku terkait kehamilan Rosie. Sekarang saatnya memberi tahu Rosie.
"Aku mau kita co-parenting kalau memang benar kamu mengandung anakku. Aku akan bertanggung jawab penuh, bukan hanya materi, tapi aku akan terlibat penuh dalam perkembangannya. Tanggung jawabku hanya pada anak ini. Are we clear?" tanyaku.
Rosie mengangguk. "Aku sudah menduga kamu akan mengambil keputusan ini. Tujuanku mengajakmu bertemu juga untuk memberitahu bahwa aku ingin co-parenting. Hubungan kita hanya sebatas anak ini."
Ini sesuatu yang baru. Aku sudah menyiapkan argumen jika Rosie ingin aku kembali padanya.
"Ini kesalahanku dan aku akan bertanggung jawab penuh. Anak ini enggak berdosa, dia berhak mendapatkan kasih sayang ayahnya." Rosie melanjutkan.
"Kamu kembali kepadanya?" Meski pertanyaan itu kutujukan kepada Rosie, aku melirik Mimi. Mimi pasti tahu siapa yang kumaksud.
"Hubunganku dan Mas Damar sudah berakhir. Aku tidak akan kembali padanya. Entah sampai kapan, aku ingin sendiri dulu. Fokus membesarkan anakku." Rosie berkata pelan.
Aku kembali melirik Mimi dan dia hanya mengangkat bahu.
Meski tujuanku sudah terpenuhi, masih ada yang mengganjal di hatiku. Ini pertemuan terakhirku dengan Rosie, dan aku ingin menyudahi semuanya.
"Kamu pernah mencintaiku?"
Rosie menatapku sekilas sebelum mengangguk pelan. "Tapi aku terlambat. Aku baru menyadari perasaanku setelah kita berpisah."
"Kamu juga mencintainya?"
Rosie menghela napas panjang. "Awalnya aku pikir begitu, tapi sekarang aku sadar, Mas Damar mengendalikanku. Semua keputusanku dipengaruhi olehnya. Aku yang menceburkan diri ke dalam hubungan toksik ini, tapi Mas Damar..." Rosie menyusut air matanya. "Aku salah mengartikan perasaannya sebagai cinta."
"Kenapa kamu menikahiku?"
Rosie tersenyum canggung. Dia tidak berani menatap mataku. "Saat itu, aku marah karena Mas Damar tidak mau meninggalkan istrinya. Awalnya karena aku ingin memanas-manasinya. Tapi, Mas, kamu membuatku merasa berarti. Kamu membuatku merasa berharga. Perasaan itu tidak pernah aku dapatkan saat bersama Mas Damar."
"Dan kamu tetap memilih dia."
"Karena aku begitu bodoh," sahutnya.
Aku menggenggam tangan Mimi. Aku pernah melakukan hal bodoh yang membuatku malah menjauhkan Mimi dari hidupku.
Rosie menghapus sisa air matanya. Untuk pertama kalinya, dia menatapku dan Mimi dengan senyum di wajahnya.
"Aku harap kalian bahagia. You deserve it, Mas." Rosie mengambil tasnya. "Aku akan mengabarimu kalau dokter sudah menentukan HPL. Terima kasih untuk semuanya."
Aku bergeming di tempat meski Rosie sudah tidak kelihatan lagi. Perasaanku jadi lega. Beban yang selama ini ada di pundak, kini terangkat sepenuhnya.
"Om Satrio butuh Tante Rahmi karena selama ini, Tante Rahmi yang memodali bisnisnya. Dia enggak mungkin ninggalin Tante Rahmi." Mimi buka suara. "Om Satrio merasa rendah diri karena dia tidak ada apa-apanya tanpa Tante Rahmi. Makanya dia selingkuh. Rosie bukan satu-satunya, tapi kata Tante Rahmi, Rosie yang paling lama jadi selingkuhannya."
"Mereka masih menikah?"
Mimi tertawa. "Om Satrio bisa diandalkan dalam mengelola bisnis keluarga Tante Rahmi."
Aku tidak habis pikir dengan orang yang mempermainkan pernikahan seperti itu, tapi bukan tempatku untuk menghakimi.
"Anyway, aku sudah selesai makan." Mimi memberitahu.
Aku menatap piringnya yang sudah kosong.
"Lalu?"
Mimi mendekatkan wajahnya hingga berbisik di telingaku. "Kita pulang sekarang? Aku sudah basah dari tadi karena ngebayangin kita bercinta di balkon."
My dirty Mimi.
"Gimana, Mas?" Mimi mengedipkan matanya untuk menggodaku.
Aku tertawa. Perasaanku sangat ringan. Sabil menggenggam tangan Mimi, aku menatapku lekat-lekat.
"Yes, Baby. Let's make love tonight."
THE END
Nikmati extra part Yes, Baby hanya di KaryaKarsa! Ada dua file (Extra part 1-5 dan Extra part 6-10) yang bisa dibeli seharga Rp10.000 (untuk masing-masing file). Extra part tidak akan diunggah di Wattpad.
PS: Next, kita akan bertemu Mas Nadiem dan Dinda di Yes, Sir! yang akan diunggah di Wattpad setelah selesai tayang di KaryaKarsa. Untuk yang menunggu versi full PDF, bisa mendapatkannya begitu selesai di KaryaKarsa, Januari-Februari 2024.
Yes Sir! di KaryaKarsa tayang setiap Selasa/Rabu & Sabtu (dua kali seminggu), dan sekali tayang sebanyak 4 chapter. So far, sudah bisa dibaca sampai bab 28 ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Baby! (Buku Kedua dari Yes Series)
RomanceSetelah bercerai, Oslo memutuskan untuk tidak pernah terlibat dengan perempuan dan fokus pada advertising agency yang baru dirintisnya. Janji tersebut buyar karena kehadiran Miranti, karyawan baru yang langsung mengusik Oslo sejak hari pertama. Mira...