Oslo
Sial, mengapa aku malah lepas kendali?
Entah kekuatan apa yang dimiliki Mimi, sampai-sampai dia selalu berhasil membuatku berada di titik terendah dan membuka diriku sepenuhnya di hadapannya. Aku tidak bermaksud memberitahu tentang kehamilan Rosie. Aku menyimpannya seorang diri, tidak ingin ada yang tahu. Namun di depan Mimi, aku malah memberitahunya.
Anehnya, tidak ada penyesalan yang datang setelahnya. Mimi tidak memberikan solusi. Dia hanya berbaring di sampingku, memelukku sementara aku menumpahkan semuanya di hadapannya. Kehadirannya sudah cukup untuk menenangkanku. Pelukannya nyatanya bisa membuatku berhenti mengutuk kebodohanku sendiri.
Saat menatap Mimi, aku menyadari bahwa aku menginginkannya.
Tidak, aku membutuhkannya.
Aku tahu ini tidak adil untuk Mimi, tapi aku tidak bisa menahan diri. Aku mengusir perasaan bersalah itu jauh-jauh, dan membiarkan keegoisan mengambil alih. Aku membutuhkan Mimi, hanya itu yang aku pikirkan.
"Oh, hai."
Sapaan itu mengagetkanku, menyadarkanku dari lamunan.
Di seberang kitchen island, aku melihat seorang perempuan yang belum pernah kutemui sebelumnya. Dia pasti salah satu teman Mimi yang tinggal di sini.
"Oh, sorry. Gue boleh bikin kopi?"
Dia tertawa. "Biasanya gue yang in charge soal kopi, tapi enggak masalah. Pour me one."
Perempuan itu mengambil tempat di salah satu bar stool sementara aku membuat kopi. Berusaha untuk tidak kentara, aku melirik pintu kamar Mimi, berharap dia segera muncul. Hanya berdua dengan temannya membuatku canggung.
Ini risiko yang harus kutanggung karena menginap di tempat Mimi. Cepat atau lambat, aku pasti akan bertemu temannya. Namun aku mengabaikan fakta itu.
Mimi memintaku membawanya ke apartemenku. Di sana tidak ada siapa-siapa. Aku dan Mimi bisa berbuat apa saja tanpa takut ada yang terganggu. Privasiku akan terjaga jika membawa Mimi ke tempatku.
Namun aku belum siap membawa siapa pun ke sana. Apartmen itu pertahanan terakhirku. Begitu aku membawa Mimi ke sana, aku tidak punya tempat aman untuk berlindung.
Aku tersenyum kikuk saat menyadari perempuan itu terang-ternagan menelitiku. Sial, mengapa aku lupa memakai baju? Aku hanya memakai bokser yang tidak menutupi tubuhku.
"You're so hot. Gue paham kenapa Mimi tergila-gila sama lo." Dia tertawa.
Aku tertawa kikuk, berharap Mimi segera datang. Aku menyesal sudah menatap perempuan itu, dan menyadari dia hanya memakai kaus selutut. Aku bisa melihat dia tidak memakai pakaian dalam. Putingnya membayang jelas di balik kaus pink pucat.
"Nava." Dia mengulurkan tangan. Nava tampak tidak peduli dengan penampilannya. Dia sengaja menyilangkan kaki sehingga pahanya terlihat. Saat memperkenalkan diri, dia sengaja mencondongkan tubuhnya ke arahku.
"Oslo," sahutku sambil menyambut uluran tangannya. Untung aku bisa pura-pura fokus ke kopi dari pada meladeni Nava yang terang-terangan flirting di depanku.
Dia teman baik Mimi. Tidak seharusnya dia flirting kepadaku.
Apa ini sebuah pertanda aku sebaiknya membawa Mimi ke tempatku? Tidak ada teman yang mengganggu. Namun, itu bukan pilihan yang bijak.
Sial, mengapa aku harus menghadapi dilema ini?
Aku tidak bisa menahan napas lega saat melihat Mimi menyeret langkah dari kamarnya. Wajahnya masih mengantuk. Dia bahkan tidak peduli dengan kehadiranku dan menguap lebar ketika menghampiriku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Baby! (Buku Kedua dari Yes Series)
RomanceSetelah bercerai, Oslo memutuskan untuk tidak pernah terlibat dengan perempuan dan fokus pada advertising agency yang baru dirintisnya. Janji tersebut buyar karena kehadiran Miranti, karyawan baru yang langsung mengusik Oslo sejak hari pertama. Mira...