22. Kegalauan

177 22 14
                                    

Hari-hari terus berlalu, dan Randika tak pernah lagi menginjakkan kaki di rumah kedua orangtuanya. Siang ini, ia akan pergi ke luar negeri untuk mengurus bisnisnya. Entah mengapa, ia merasa berat hati meninggalkan tanah air. Ia menatap lekat ke arah rumah sebelah yang pintunya tertutup rapat.

"Mas Randi mau pergi, ya?" ucap seseorang membuat hati Randika terasa lebih lega. Pria itu menatap gadis yang tiba-tiba muncul di hadapannya.

Randika mengangguk pelan. "Gue titip rumah."

"Siap, Mas. Mas Randi hati-hati dan jaga hati, ya.  Saya tunggu Mas Randi pulang." Rossy tersenyum manis pada pria yang ikut menarik sudut bibirnya.

Rossy melambaikan tangan pada Randika yang masuk ke dalam taksi. Gadis itu menyeka sudut matanya. Pria yang akhir-akhir ini jarang bertemu dengannya, kini akan pergi dalam waktu yang tidak ditentukan.

"Udahlah, jangan nangis-nangis kayak gini. Toh, Mas Randi pergi juga untuk masalah kerjaan." Rossy melangkahkan kakinya menuju rumah. Ia memandang lama rumah sebelah yang telah kosong. Hari-harinya akan semakin sepi setelah kepergian pria itu.

Tiba di kamar, Rossy semakin uring-uringan. Ia sudah terlanjur cinta pada manusia dingin tersebut. Tak mau terhanyut dalam kegalauan, ia memilih untuk memasak. Seperti biasa, ia akan mengirimkan makan siang untuk Ruqqy atas permintaan Rolando selepas kepergiannya.

Setelah selesai memasak menu sederhana kesukaan Ruqqy, Rossy pun bersiap pergi ke kantor. Pak Riswan yang sudah tahu kemana nonanya akan pergi, bergegas membukakan pintu.

"Hari ini masak apa, Non?" tanyanya melirik sekilas ke arah gadis yang memejamkan matanya itu.

Rossy menjawab, "Tumis kangkung, tempe goreng, sama sambel, Pak."

Sesampainya, Rossy langsung menuju ruangan cucu kandung Rolando. Gadis itu menghela napas melihat pria yang tengah berkutat dengan berkas-berkas di tangannya. Ia meletakkan rantang plastik di atas meja, kemudian menyandar pada kepala sofa.

"Capek lo?" tanya Ruqqy menatap gadis yang kembali memejamkan kedua matanya itu.

"Mas, saya ikut tidur sebentar ya? Mata saya udah ngantuk banget, nggak bisa ditahan." Rossy meraih bantal sofa dan memeluknya erat. Gadis itu tertidur dalam posisi duduk.

Kepergian Rolando telah membuat mereka bekerja ekstra. Seharian, Rossy berada di toko. Ia bekerja merangkap sebagai karyawan dan pengelola. Renata sudah mau mengajarinya tentang hal-hal yang seharusnya diajari. Lain halnya dengan Ruqqy yang mengurus masalah perusahaan seorang diri.

Ruqqy bangkit dari duduknya, lalu membaringkan tubuh Rossy di sofa. "Bukan lo doang yang capek, gue juga kali."

Menyaksikan gadis yang tertidur, sudah menjadi salah satu kebiasaan Ruqqy. Karena setiap kali Rossy mengantar makan siang, gadis itu selalu memanfaatkan waktu untuk terpejam. Ruqqy menarik sudut bibir melihat menu masakan kesukaannya. Ia yakin, jika sang kakek yang menyuruh cucu angkatnya mengurusi segala kebutuhan dirinya.

"Woy, Qy! Makan si—" Teriakan Raja terhenti saat Ruqqy mengangkat tangannya ke udara. Raja tersenyum jahil. Ia mendekati sahabatnya yang tengah menikmati makanan buatan gadis tersebut.

"Ceritanya udah akur, nih?" tanyanya seraya menaik-turunkan kedua alis.

Ruqqy tak menjawab. Ia berdecak saat Raja mencoba merebut tempe goreng miliknya. Ruqqy yang tak merelakan makan siangnya dicicpi oleh sahabat masa kecilnya, langsung melarikan diri menuju kursi kebesarannya.

"Pelit lo, Qy. Gue mau cicipin aja, nggak boleh!" gerutu Raja yang kemudian terlarut menikmati wajah damai gadis yang tertidur itu.

"Jangan dipandang-pandang, nanti kesemsem lo!" celetuk Ruqqy membuat senyum sahabatnya semakin lebar.

Terikat Kontrak Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang