39. Selembar Foto

126 14 5
                                    

Untuk kali pertama, Ruqqy mengalami penolakan cinta. Mengapa rasanya begitu menyesakkan dan menyakitkan? Di saat dirinya ingin serius menjalin hubungan, justru ia dikecewakan. Ruqqy terlupa jika gadis tambatan hatinya telah menemukan pria yang dicinta. Yang tak lain dan yang tak bukan adalah musuh bebuyutannya, Randika.

"Ternyata sesakit ini, ya?" gumam Ruqqy terkekeh miris.

Ia mengabaikan dua pasang mata yang sejak tadi menatapnya saat memasuki rumah. Kaki jenjangnya melangkah menuju kamar. Ia membanting pintu dengan keras. Tak peduli jika perbuatannya dapat membuat orang terkejut setengah mati.

"Ada apa dengan dia?" tanya Rolando melirik sang asisten pribadi yang menggelengkan kepala.

Di dalam kamar, Ruqqy duduk termenung. Memikirkan penolakan gadis yang jelas-jelas tidak memiliki rasa kepada dirinya. Senyuman samar terbit di wajah pria yang kemudian menjambak rambutnya frustasi.

"Aaarrgghh!!!" teriak Ruqqy melempar lampu tidur ke sembarang arah.

Mendengar suara benda terbanting membuat Rolando bergegas ke kamar cucunya. Ia menggedor-gedor pintu sembari memanggil nama pria yang menatap tajam roti buaya pemberian cucu angkat sang kakek. Tanpa berpikir panjang, ia menghancurkan roti yang selama ini dijaganya. Ia cukup tidak terima jika Rossy enggan membuka hati. Karena gadis itu masih menjadikan Randika sebagai tahta tertinggi di hatinya.

"Ruqqy! Apa yang kamu lakukan di dalam? Cepat buka pintunya!!" teriak Rolando diliputi rasa gelisah.

Bukannya mendapat sahutan, pria tua itu malah dibuat terkejut akan sebuah benda yang berbenturan dengan pintu. Membuatnya mundur beberapa langkah. Jika sudah seperti itu, menandakan bahwa cucunya membutuhkan waktu sendiri.

"Dasar anak muda," gerutu Rolando menggelengkan kepala, merasa tak habis pikir pada kelakuan Ruqqy yang tak pernah berubah.

Tak mau ambil pusing memikirkan cucu kandungnya, Rolando pun melangkahkan kaki menuju rumah Rossy. Ia membuka pintu yang tak terkunci. Menyapu pandangan ke sekeliling, tetapi tak ada tanda-tanda keberadaan sang cucu angkat. Tanpa sadar, ia mengunjungi kamar Rossy. Matanya memicing melihat selembar foto yang tergeletak di atas kasur. Jantung Rolando berdetak cepat saat mengamati foto seorang ayah dan putrinya secara seksama.

"Tidak mungkin," gumamnya meremas foto tersebut, kemudian beranjak meninggalkan rumah ini dengan perasaan campur aduk.

Rachel menghela napas panjang mendapati sang tuan keluar dari rumah sebelah. Dengan langkah lebar, ia mendekati tuannya. "Tuan, tadi Rossy berpamitan pulang ke kampung."

Tatapan tajam menyergap Rachel yang menelan ludah. Ia segera menyusul Rolando yang berjalan menuju mobil. Wanita itu mempersilakan Rolando duduk di kursi penumpang, sedangkan dirinya duduk di samping kemudi.

"Susul Rossy," titahnya yang dibalas anggukan oleh sang supir.

Selama perjalanan, wanita yang sudah lama mengabdi dibuat bertanya-tanya. Tak biasanya tuan mereka memandang kosong seperti itu. Kecuali, ada suatu hal penting yang terjadi. Akan tetapi, ia merasa tak ada kejadian yang dapat membuat tuannya kepikiran. Masalah tuan muda yang tiba-tiba mengurung diri di kamar, sudah biasa terjadi. Sangat mustahil jika hal tersebut yang menggandrungi pikiran pria tua itu.

Beberapa jam kemudian, mereka pun tiba di tempat tujuan. Rolando menanyakan keberadaan cucu angkatnya kepada para pekerja, tetapi Rossy belum menginjakkan kaki di rumah miliknya di kampung ini. Melihat kegelisahan tuannya, Rachel pun segera menghampiri.

"Tuan, kita telepon Pak Riswan saja," usulnya yang langsung mendapat titah untuk menghubungi supir pribadi Rossy. "mereka ada di pemakaman umum, Tuan."

Seorang gadis menitikkan air mata kembali. Menginjakkan kaki di tanah pemakaman membuatnya tak bisa membendung dua anak sungai yang terus mendesak keluar. Ia bersimpuh di samping makam sang ayah. Beberapa hari yang lalu, ia kembali ke kota. Kemudian, dikejutkan oleh pengungkapan rasa cucu kakek yang mengadopsinya. Rossy merasa bimbang. Perasaan bersalah menyelinap masuk ke lubuk hati gadis tersebut. Gadis yang lagi-lagi menyakiti hati seorang pria.

"Ayah, aku datang. Aku ke sini di antar supir Kakek, Yah. Pak Riswan namanya. Dia baik kok. Setiap liat dia, aku selalu keinget Ayah." Rossy menundukkan kepala. Air matanya semakin deras mengalir. "a-ayah, maafin aku yang sempat lupain nasehat Ayah. Sekarang aku udah nggak dendam sama ibu Retno. Dia udah nyesal dan minta maaf. Aku maafin dia, yah. Ayah udah tenang 'kan di sana? Aku udah nggak punya dendam sama ibu. Aku juga udah kasih tempat tinggal untuk ibu Retno atas persetujuan kakek."

Sudut bibirnya tertarik, membentuk senyuman tipis di tengah deraian air mata. "Kakek baik orangnya, yah. Meski awalnya aku dijebak, tapi aku sayang kakek Rolando. Aku harap, ayah nggak marah karena aku ngelakuin misi yang ada di kontrak itu."

"Yah, aku udah nemuin orang yang aku cinta. Dia juga cinta sama aku, yah. Tapi hukuman kami kandas. Semua itu diawali dengan kepura-puraan dan kebohongan. Aku jahat, ya, yah? Mempermainkan perasaan mas Randi yang tulus cinta sama aku?" Rossy tersenyum miris. Ia menggenggam tanah makam sang ayah. Kilatan-kilatan pengkhianatan yang dilakukannya kembali terngiang. Raut kekecewaan di wajah Randika dapat Rossy bayangkan. Rasa bersalah yang berusaha ditepisnya, kembali dirasakan.

Tanpa sadar jika ada sepasang mata yang sejak tadi menyaksikan. Selepas kepergian gadis itu, ia melangkah mendekati makam Raden. Namun, Rolando kehilangan keseimbangan dan hampir terjatuh jika Roni—sang supir tidak menahan tubuhnya. Dengan dipapah oleh Roni dan Rachel, ia melanjutkan langkah yang tinggal beberapa meter lagi sampai di makam ayah cucu angkatnya.

"Tinggalkan saya sendiri," pinta Rolando dengan tatapan yang tertuju pada gundukan tanah di depannya.

Tangan Rolando bergetar menyentuh batu nisan bertuliskan nama pria yang selama bertahun-tahun dicari keberadaannya. Raden Wisma Rodney. Seorang pengusaha muda kaya raya pada masanya. Akan tetapi, kejayaan Raden tak bertahan lama akibat penggelapan dana perusahaan yang dilakukan oleh orang kepercayaan.

Air mata pria tua itu meluruh. Ia merasa bersalah karena mengikutsertakan putri Raden ke dalam rencana pencurian berkas berharga keluarga Richardson. Dua pasang mata yang menyaksikan dari kejauhan mencoba menerka-nerka hubungan antara sang tuan dan ayah Rossy.

"Saya marah kepadamu, Raden. Kamu pergi tanpa pamit. Lalu aku menemukanmu terkubur dalam tanah. Asal kamu tau, selama bertahun-tahun saya mencari keberadaan kamu. Saya pindah ke kampung ini dua tahun lalu. Kamu meninggal saat saya ada di sini, tapi saya nggak tau itu kamu, Den. Jika saya tidak menemukan foto ini, mungkin selamanya saya nggak akan tau kabar kamu," ucap Rolando menumpahkan isi hati yang terpendam.

Ia menundukkan kepala cukup lama. Memandangi foto yang membuat tangisnya semakin pecah. Rasa kerinduan yang dirasakan terganti oleh rasa kesedihan mendalam. Jari telunjuknya mengusap wajah anak perempuan tengah tersenyum lebar itu.

"Senyum putrimu sangat mirip denganmu, Raden. Kenapa saya tidak sadar?" gumam Rolando beralih menatap batu nisan Raden.

Setelah puas mencurahkan isi hati, ia pun mulai mengirimkan doa pada ayah Rossy. Dua anak sungai tak henti mengalir. Bahkan, Rachel dan Roni ikut merasakan kesedihan sang tuan. Melihat Rolando yang kesusahan bangkit dari duduk, mereka segera berlari mendekat. Keduanya membantu sang tuan berdiri dan kembali memapahnya. Sebelum meninggalkan pemakaman umum ini, pria tua itu menyempatkan untuk menunjukkan selembar foto pada dua pekerja yang saling melempar pandangan bingung.

"Dia cucu perempuan saya yang disembunyikan oleh Raden," ucap Rolando melirih sembari menatap lekat foto di tangannya.


























Lanjut???

Terikat Kontrak Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang