Rossy tak bisa lagi menahan senyum di wajahnya. Ia mengangguk. Menandakan bahwa ia menerima ajakan sang kekasih untuk melanjutkan hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius lagi.
Dengan perasaan berbunga-bunga, Randika memasangkan cincin di jari manis kekasihnya. Kemudian ia bangkit dan menggenggam kedua tangan Rossy yang sedari tadi menahan rasa sesak di dada. "Terima kasih udah nerima aku. Aku akan persiapkan pernikahan kita mulai dari sekarang. Bulan depan kita akan menikah."
Rembulan yang tertutup awan menjadi saksi dalam cinta yang terhalang akan kasta dan kontrak. Rossy sadar diri. Bukan karena kontrak itu saja yang menghalangi cintanya kepada Randika. Namun, kasta mereka juga memiliki sebuah pengaruh. Pria kaya tak pantas bersanding dengan gadis miskin sepertinya.
Dalam hangatnya pelukan, Rossy membiarkan dua anak sungai mengalir dari pelupuk mata. Ia menggigit bibir kuat-kuat, berharap jika Randika tak mengetahui dirinya menangis. Seharusnya, ia bahagia bukannya merasa sedih seperti sekarang ini.
"Mas, apa pun yang terjadi di depan, aku tulus mencintai Mas Randi. Mas Randi adalah cinta pertama aku. Aku merasa bersyukur, dipertemukan dengan pria tulus kayak Mas Randi. I love you, Mas," ungkap Rossy yang tak bisa lagi menahan tangis.
Rintik-rintik hujan mulai berjatuhan. Mereka bergegas berlari ke dalam rumah. Randika menggiring kekasihnya menuju ruang tengah. Ia merengkuh tubuh Rossy yang sedikit menggigil.
Hujan turun semakin deras. Seolah semesta ikut merasakan kesedihan seorang gadis yang diam-diam kembali menitikkan air mata. Usapan lembut di puncak kepala membuat Rossy meremas pakaian sang kekasih.
"Aku ambil baju Raesa dulu, ya. Malam ini kamu nginap aja." Randika beranjak menuju kamar sang adik. Ia mengambil celana panjang dan juga sweater, lalu memberinya kepada Rossy yang mengulum senyum. "Ganti dulu sana, aku tunggu di sini."
Rossy mengangguk. Ia berlari kecil ke arah kamar tamu yang biasa ditempati saat menginap di sini. Setelah selesai, ia menghampiri kekasihnya yang menunggu di bibir tangga.
"Ke ruang kerja aku, ya?! Aku masih ada kerjaan," tutur Randika mengulurkan tangan padanya.
Tangan mereka saling bergandengan. Sepanjang perjalanan, keduanya terus bersenda gurau sampai tiba di depan pintu berwarna putih. Bukan kali pertama Rossy menginjakkan kaki di sana. Namun, ia selalu berdebar saat berada di ruangan yang menjadi tempat disembunyikannya berkas-berkas berharga milik keluarga Richardson.
"Mas aku nemenin sambil nonton film nggak papa, 'kan?" tanyanya dibalas anggukan oleh Randika.
Tak terasa satu jam telah berlalu. Seorang pria tersenyum tipis melihat kekasihnya yang tertidur sambil memeluk bantal sofa. Sudah menjadi kebiasaan Rossy yang berakhir tidur saat menemaninya bekerja di rumah. Randika melirik pintu yang terbuka setengah. Ia bangkit dari duduknya, lalu menutup pintu rapat-rapat. Setelah memastikan jika Rossy benar-benar tertidur, ia meraih dokumen-dokumen di atas meja kerja dan membawanya menuju ruangan lain yang tersembunyi di balik rak buku. Tanpa diketahui, sepasang mata mengintip segala gerak-geriknya.
***
Senyuman cerah di wajah seorang gadis menyambut pagi Randika. Pria yang tampak lesu dengan lingkaran hitam di bawah mata. Rossy menduga jika kekasihnya begadang tadi malam, padahal hari ini adalah hari libur. Mengapa kekasihnya masih bekerja sampai larut? Apakah karena banyak pekerjaan yang harus diselesaikan secepatnya?.
"Mas, aku yang masak semua ini, loh. Ada telor balado kesukaan Mas Randi!" seru Rossy menunjukkan hasil masakannya pada sang kekasih.
Randika menyunggingkan sudut bibir. Ia menyerahkan piring pada Rossy yang dengan semangat menyajikan sarapan untuknya. "Selamat makan!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Terikat Kontrak
Teen FictionRossy dijadikan sebagai tebusan hutang oleh ibu tirinya setelah kemarin sang ayah. Ia merasa cemas akan diperistri oleh pria tua yang menjadi juragan kampung di kampungnya. Tak menyangka, ia justru diangkat menjadi seorang cucu. Jeratan ibu tirinya...