47. Alasan Insaf

152 13 0
                                    

Seorang gadis membuka matanya perlahan. Ia memegangi kepalanya saat rasa pusing datang mendera. Derap kaki yang mendekat, membuat gadis itu menoleh. Ia mendapati sosok pria yang menatapnya penuh cemas.

"Gue panggil dokter sebentar," ucap Ruqqy hendak melangkah keluar ruang rawat, tetapi dicekal oleh Rossy yang menggelengkan kepala.

"Saya nggak papa, Mas," gumamnya mengundang kemurkaan Ruqqy yang teredam sejak beberapa jam yang lalu.

"Nggak papa apanya? Lo kehilangan banyak darah, Ros! Lo kalo mau bunuh diri jangan di rumah gue! Gue nggak mau rumah gue berhantu gara-gara arwah lo yang gentayangan!!" amuk Ruqqy membuat gadis yang terbaring lemah itu tertawa kecil.

Sejenak, ia teringat kejadian semalam. Di mana dirinya kehilangan akal sehat hingga menggenggam erat pecahan vas bunga. Mengakibatkan darah mengalir dari telapak tangannya. Rossy tidak merasakan sakit, karena hatinya jauh lebih tersakiti. Kemudian ia merasa kepalanya sangat pening. Setelah itu, kegelapan menyelimutinya.

"Mas kalo khawatir, bilang aja. Nggak usah gengsi gitu," olok Rossy membuat cucu kandung Rolando naik pitam.

Suara pintu terbuka mengalihkan atensi keduanya. Seorang wanita melangkah mendekati mereka. Ia tampak berkaca-kaca dan langsung memeluk tubuh Rossy yang mengulum senyum. Membuat Rossy merasa bersyukur dikelilingi oleh orang-orang yang sangat menyayanginya.

"Kenapa kamu lukain diri sendiri? Tante khawatir," tegur Rachel mencubit lengan gadis yang memekik kesakitan itu.

"Ya ampun, Tante... Saya udah luka gini aja, masih dicubit-cubit," gerutu Rossy mengerucutkan bibir ranumnya.

"Tuh bibir nggak usah dimonyong-monyongin! Mau minta gue cium?" celetuk Ruqqy yang langsung mendapat tatapan tajam dari cucu angkat dan asisten pribadi sang kakek. Ia tercengir seraya mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya di udara.

Rachel menghela napas panjang. Keberadaan Ruqqy selalu saja berhasil mencairkan suasana. Ia memandang cucu tuannya yang meraih semangkuk bubur, lalu duduk di kursi samping brankar. Tak mau mengganggu waktu berduaan Ruqqy bersama gadis yang dicintai, ia pun menjauhi Rossy dan duduk di sofa ruang rawat VIP ini.

"Makan dulu, terus minum obat. Dokter bilang lo demam," titah Ruqqy sambil mengaduk bubur, lalu mengarahkan sesendok bubur pada mulut Rossy yang dengan sukarela terbuka.

"Saya sampe kapan di sini, Mas?" tanyanya disela makan.

Ruqqy tampak berpikir sejenak. Membuat rasa penasaran gadis berwajah pucat itu semakin meningkat. Rossy merasa luka di telapak tangannya tidak terlalu parah. Demam yang menyerangnya pun masih tergolong ringan. Ia tak mungkin berlama-lama dirawat di rumah sakit ini.

"Sampe sembuh," jawab Ruqqy langsung menyuapkan sesendok bubur saat Rossy hendak buka suara. Membuat gadis itu mendengkus kesal. Tak ayal mengunyah sebentar dan menelan bubur yang ada di dalam mulutnya.

Semangkuk bubur sudah dihabiskan. Ruqqy memberikan segelas air, lalu kembali duduk di kursi. Memandangi wajah Rossy yang tertunduk. Raut kesedihan terpancar kembali di wajah ayunya. Ruqqy harus kembali mengalihkan perhatian Rossy, agar gadis tersebut melupakan sejenak masalah yang menimpa.

"Mas, saya denger semuanya.... Hati saya sesak, Mas. Kenapa dia nggak milih saya? Saat itu, saya yang lebih membutuhkan sosok ibu. Apa dia nggak sayang sama saya, Mas?" ucap Rossy melirih. Mata gadis itu sudah berembun. Sekali kedip saja, buliran bening itu akan mengalir di kedua pipinya. "buktinya, selama ini dia nggak pernah cari tau tentang saya dan ayah. Ayah selalu bilang, kalo ibu kandung saya udah nggak ada. Dan saya nggak paham, nggak ada yang dimaksud ayah itu apa. Setiap kali saya tanya tentang ibu, ayah selalu sedih dan ngurung diri. Sejak itu, saya nggak pernah tanya tentang ibu kandung saya lagi."

Ruqqy berpindah duduk di sisi brankar. Ia mengelus punggung gadis yang masih membutuhkan waktu untuk menerima semua kenyataan yang ada. Dua anak sungai mengalir semakin deras. Ruqqy sama sekali tak menyuruhnya untuk berhenti menangis. Ia berpikir setelah menumpahkan air mata sebagai pelampiasan perasaannya yang kacau, akan membuat gadis itu merasa sedikit lebih baik.

"Mas, apa saya bisa jalani semua ini? Rasanya begitu berat, Mas. Saya jatuh cinta untuk pertama kali sama cowok yang ternyata kakak kandung saya. Calon ibu mertua saya juga ternyata ibu kandung saya. Kenapa takdir hidup saya harus kayak gini, Mas? Apa belum cukup saya dijadiin tebusan hutang sama ibu tiri saya sendiri?!" Rossy mencengkeram kerah kemeja yang dikenakan oleh Ruqqy. Saat ini, ia berada dalam dekapan hangat seorang mantan buaya darat yang terus mengelus kepalanya. Mencoba memberi ketenangan ditengah gejolak rasa yang sulit untuk dijelaskan.

"Kalo lo nggak bisa jalani, nanti gue gendong. Terserah, lo mau gendong depan atau belakang. Ala bridal style atau koala sekalipun, bakal gue jabanin. Asalkan nanti lo siap pijetin gue," seloroh Ruqqy dihadiahi pukulan di dadanya.

Rachel melepas tawa. Suasana yang semula menguras air mata, kini berubah menjadi tawa. Cucu Rolando itu sedikit sulit jika diajak untuk berbicara serius. Suasana hati Rossy yang buruk pun, kian bertambah buruk. Apalagi saat Ruqqy ikut melepas tawa. Pria itu selalu saja berhasil mengalihkan rasa sedihnya menjadi rasa kesal setengah mati.

"Mas Ruqqy! Saya lagi serius, malah dicandain!!" pekik Rossy merajuk.

Ia memalingkan wajah menghadap jendela, lalu membaringkan tubuh membelakangi dua orang yang masih asyik tertawa. Menyadari gadisnya merajuk, Ruqqy pun? Ah, tak masalah bukan, jika Ruqqy menganggap Rossy sebagai miliknya? Gadis itu sudah putus hubungan asmara dengan musuh bebuyutannya.

"Tuh, udah ngambek orangnya. Tante tinggal, ya, mau jemput tuan di lobi," ujar Rachel berpamitan.

Rossy berdecak sebal saat Ruqqy tiba-tiba muncul di depan wajahnya. Pria tengil itu kembali merecoki Rossy dengan menarik tangannya yang terbalut perban. Menggenggam dan mengelusnya lembut. Tubuh Rossy seketika menegang saat benda kenyal menyentuh punggung tangannya.

"Mas Ruqqy apa-apaan, sih?!" amuk Rossy hendak menarik tangannya, tetapi ditahan oleh Ruqqy yang justru semakin erat menggenggam.

"Minum obat dulu, ya?" ucap Ruqqy lembut.

Pria itu menyerahkan obat yang harus diminum oleh Rossy. Dengan menahan kesal, gadis itu kembali duduk dan mengambil obat tersebut. Kemudian meminumnya dengan menatap Ruqqy yang tersenyum kecil.

Rossy kembali berbaring. Ia ingin segera terpejam untuk mengistirahatkan pikirannya yang berkecamuk, tetapi Ruqqy tak mengizinkan dirinya memejamkan mata. Pria itu mencolek dagu dan pipinya berkali-kali. Membuat Rossy merasa geram.

"Apa sih, Mas?! Saya mau tidur!" pekiknya pada Ruqqy yang membasahi bibir.

"Ros, dengerin gue. Kisah sebenernya tentang keluarga lo udah diketahui secara jelas dari yang bersangkutan. Lo emang berhak kecewa, sedih, nggak terima, marah, atau bahkan benci. Tapi satu yang gue minta, lo harus tetep nerima kalo tante Risma adalah nyokap kandung lo. Seberapa besar lo menyangkal, itu nggak akan merubah apa pun. Dia yang mengandung dan bertaruh nyawa ngelahirin lo ke dunia ini," jelas Ruqqy tak bermaksud memihak pada ibu kandung gadis tersebut.

Rossy tersenyum samar. Ia membalas genggaman tangan menggunakan tangannya yang terdapat infus, kemudian menatap lamat wajah pria yang sangat pandai mengatur suasana. "Saya tau, Mas. Tapi saya masih butuh waktu. Saya masih harus menata hati menerima semuanya dengan lapang dada."

"Bagus. Lo emang hebat. Nggak salah gue insaf jadi buaya demi jadi suami lo, Ros!" cetus Ruqqy mengangguk-anggukkan kepala. Tanpa memedulikan tatapan sinis yang menyergapnya.















Terikat Kontrak Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang