36. Tersiksa

134 17 2
                                    

Sudah seminggu lamanya dua orang pria selalu mengurung diri di dalam kamar. Menolak bertemu siapapun. Membuat orang-orang rumah merasa kebingungan untuk membujuk. Segala cara sudah dilakukan, tetapi tak ada yang berhasil. Seolah dinding kamar jauh lebih menarik perhatian mereka.

Randika masih merahasiakan pengkhianatan yang dilakukan oleh terkasih dari keluarganya. Para pekerja pun tak mengetahui penyebab sang tuan muda yang terus menyendiri. Pria itu telah menghapus rekaman cctv dan menyimpannya seorang diri. Tak membiarkan tuan dan nyonya Richardson mengetahui hal tersebut sebelum ia sanggup menghadapi kekacauan hatinya.

Sementara itu, Ruqqy terus dihantui rasa bersalah. Ia juga cukup kecewa pada sang kakek yang tak pernah absen membujuknya. Pria tua itu kini bersandar di dinding kamar cucunya. Menatap Ruqqy yang menatap kosong ke arah langit-langit kamar. Setelah kepergian cucu angkat sang kakek, ia baru menyadari bahwa selama ini ada rasa yang tumbuh di lubuk hatinya. Saat Rossy pergi, ia cukup merasa kehilangan. Senyum dan tawa gadis itu terus terngiang di pikirannya. Membuat Ruqqy semakin hanyut dalam penyesalan akan ucapan yang jelas menyakiti hati gadis tersebut.

"Mau sampai kapan kamu kayak gini, Ruqqy? Liat badanmu jadi kurus nggak terurus. Bisa-bisa, nggak ada cewek yang mau sama kamu," ujar Rolando yang dianggap angin lalu oleh cucunya.

"Pergi! Aku kecewa sama Kakek! Jangan sekali-kali injakan kaki ke sini lagi!!" usir Ruqqy enggan menatap ke arah sang kakek.

Rolando menghela napas berat. Ia melangkah mendekati ranjang yang tak pernah ditinggalkan oleh pria yang memeluk erat bantal guling. "Makan. Kamu sejak kemarin-kemarin nggak makan nasi."

Tak kunjung mendapat sahutan, Rolando pun akhirnya angkat kaki. Menutup pintu kamar secara perlahan. Ruqqy beranjak menuju roti buaya yang masih utuh di atas nakas. Tangannya terulur meraih roti tersebut dan memeluknya erat. Setiap kali kerinduan datang, ia akan melakukan hal itu. Ruqqy tak bodoh untuk menyadari perasaannya terhadap Rossy. Rasa kehilangan yang dirasakan semakin membuatnya tersiksa.

"Pantes aja di pertemuan pertama kita, lo bilang kakek itu licik." Ruqqy terkekeh. "lo kuat banget, ya, Ros. Bisa bertahan di bawah tekanan kakek tua bangka bau tanah itu."

Berbicara pada roti buaya pemberian Rossy telah menjadi kebiasaan barunya. Ruqqy selalu mencurahkan isi hati pada roti tersebut seolah si pembuat roti dapat mendengarnya. "Ros, lo di mana? Kenapa Raja belum kasih kabar ke gue tentang keberadaan lo? Apa lo sengaja nutup segala informasi supaya gue nggak bisa nemuin lo? Kalo kek gitu, lo berhasil buat gue tersiksa. Gue nyesel. Gue ngerasa bersalah. Gue ngerasa kehilangan. Gue cinta sama lo, Ros. Selama gue pacaran sama mereka, gue nggak pernah ngerasa kehilangan separuh jiwa gue kek gini."

Ruqqy meracau. Tanpa menyadari jika ada dua pasang telinga yang setia mendengarkan. Ketakutan Rolando akhirnya terjadi. Pria itu yakin jika Rossy dapat membuat sang cucu tobat. Akan tetapi, rasa yang tak seharusnya ada, justru tumbuh tanpa izin si pemilik hati. Cinta segitiga antara dua musuh bebuyutan kembali terjadi. Ruqqy tak akan bisa mendapatkan Rossy yang telah melabuhkan hati pada Randika. Pria yang dijuluki buaya darat itu telah mendapat karma atas perbuatannya yang telah mempermainkan hati seorang gadis.

"Ah, kalo lo liat gue nelangsa gini, kayaknya lo bakal ngetawain gue." Binar di mata Ruqqy perlahan meredup. Raut wajahnya kembali murung. "gue rindu lo. Gue rindu adu bacot sama lo, Ros. Gue rindu senyum dan tawa lo. Nggak masalah kalo lo ngetawain gue. Asalkan gue bisa liat lo lagi."

Tangisan memilukan memenuhi keheningan malam. Ruqqy adalah sesosok pria yang haus akan kasih sayang. Kehadiran Rossy membuat hidupnya semakin berwarna. Meski jarang sekali akur, tetapi ia cukup terhibur jika berhasil membuat gadis itu naik darah. Tinggal berdua bersama sang kakek sejak kecil membuatnya tak pernah merasakan kelembutan seorang wanita. Ruqqy tak diharapkan kehadirannya oleh kedua orangtua yang memilih bercerai. Kemudian menyerahkannya kepala Rolando selaku kakek dari sang ayah.

"Anjir lo, Qy!" umpat seorang pria yang merasa kesal melihat kondisi Ruqqy memperihatinkan. "mau sampe kapan lo galau-galau kek gini? Lo pikir, dengan lo yang diem di kamar, si Rossy bakal ketemu? Seenggaknya lo bantuin gue! Udah limpahin semua tugas kantor ke gue, belum lagi gue harus cari si Rossy. Gue capek, Qy. Si Regina sama Restu juga bantu cari. Tapi kalo lo nggak mau ada usaha, jangan maksa kita-kita untuk bantu cari Rossy lagi."

Raja menepuk pundak sahabatnya, sedangkan Ruqqy masih bergelut dengan pikirannya sendiri. "Kalo lo bener-bener ada rasa sama Rossy, cari dia. Saat ini, tuh cewek nggak lagi baik-baik aja. Dia kehilangan cintanya. Lo tau 'kan, Rossy cinta banget sama Randika? Musuh bebuyutan lo juga sama tersiksanya. Kalian berdua sama-sama nyesel, kecewa, sakit hati. Meski dalam konteks yang berbeda. Rossy butuh tempat untuk bersandar, Qy. Lo harus cepet nemuin dia. Ayo, kita berjuang sama-sama."

"Apa dia bakal maafin gue, Ja? Ucapan gue di masa lalu terlalu menyakiti hatinya. Gue takut, dia udah benci gue."

"Kalo dia benci lo, nggak mungkin kasih roti buaya ini sebagai tanda perpisahan kalian." Raja menganggukkan kepala saat Ruqqy menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Di detik berikutnya, pria buaya insaf itu berlari keluar kamar.

Siraman kalbu yang dilakukan Raja telah memberi pencerahan kepada Ruqqy. Seharusnya, ia tak perlu susah-susah menyuruh Raja mencari keberadaan Rossy. Sementara kunci keberadaan Rossy adalah kakeknya sendiri.

"Di mana kakek, Tan?" tanya Ruqqy tergesa-gesa.

"Di gazebo. Lagi telepon sama klien," jawab Rachel memandang bingung kepergian cucu tuannya.

Merasakan kehadiran seseorang, Rolando pun mengakhiri teleponnya. Ia memutar tubuh dan menemukan Ruqqy yang tengah berpegangan di dinding. Sepertinya, pria itu merasa pening akibat jarang memberi asupan makanan pada tubuhnya.

"Ada apa?" tanya Rolando mengangkat dagu ke arah Ruqqy yang memejamkan mata sesaat.

"Kasih tau di mana Rossy sekarang!" pintanya seraya melayangkan tatapan tajam pada sang kakek.

Rolando menggiring cucunya menuju ruang tengah, lalu menyuruhnya untuk duduk. Pria tua itu memanggil Rachel untuk menyiapkan makanan. Ruqqy hanya diam mengamati. Tak lama, Rachel datang dengan sepiring nasi.

"Makan dulu, nanti Kakek beritahu," suruhnya membuat sang asisten pribadi tersenyum kecil.

"Jangan berpikir untuk bohongi aku!" desis Ruqqy dengan napas memburu.

"Kakek nggak bohongi kamu. Cepat, habiskan saja. Kakek tunggu di ruang kerja kamu, Ruqqy." Rolando beranjak meninggalkan cucunya, diikuti oleh Rachel. Mereka berjalan beriringan menuju ruang kerja yang sangat jarang dipijak oleh Ruqqy. Karena pria itu lebih sering mengerjakan tugas kantor di kamar atau ruang tengah.

Sayup-sayup, Ruqqy mendengar pembicaraan Rolando dan asisten pribadinya. Ia tidak memakan makanan yang disiapkan oleh Rachel. Rasa penasaran lebih menguasai dirinya dari rasa lapar. Tak peduli jika makanan yang seharusnya disantap malah berakhir di tempat sampah.

"Apa tuan sudah yakin dengan keputusan itu?" tanya Rachel menatap lekat manik mata pria yang semakin menua.

"Saya yakin. Lagipula satu minggu cukup membuat Rossy tenang di kampung halamannya."

Kampung halaman? Ruqqy mengingat jelas jika gadis itu dibawa dari kampung oleh sang kakek. Jadi, bisa saja Rossy berasal dari kampung yang sering disinggahi oleh kakeknya, bukan? Tanpa berpikir panjang, ia segera berlari ke dalam kamar. Mengambil kunci mobil, mengabaikan teriakan Raja yang memanggilnya.

"Mau kemana lo, Qy?" tanya Raja menghentikan pergerakan Ruqqy yang hendak masuk ke dalam mobil.

"Mau ke Rossy. Gue udah tau di mana dia sekarang!" jawab Ruqqy sambil menyingkirkan tangan sang sahabat dari lengannya.

"Lo tau dari mana?" tanya Raja kembali menghentikan Ruqqy.

"Kakek."

Seketika, amarah Raja memuncak. Rahang pria itu mengeras. "Kalo kakek lo tau kenapa harus nyiksa gue cari Rossy, sialan!!! Ruqqy bangsat!! Berhenti lo!!" teriaknya menatap nyalang ke arah mobil yang melesat kencang meninggalkan pekarangan rumah ini.




























Yang sabar, Ja...

















Lanjut??

Terikat Kontrak Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang