47. Best Papah

97 5 0
                                    

You are the best father for Rafka

Happy Reading

Dengan terpincang-pincang, Erlangga masuk ke kamar rawat istrinya. Nadira yang tengah memainkan handphonenya langsung melirik Erlangga. Seketika ia meletakkan handphonenya.

"Ngapain kesini? Masih ingat punya istri? Kirain udah lupa," celetuk Nadira yang masih tak ingin menatap Erlangga.

Erlangga berjalan sebiasa mungkin dan menyembunyikan rasa sakitnya. Ia duduk di kursi sebelah ranjang Nadira dan mengelus perut Nadira.

"Kapan kamu hadir nak? Papah nggak nyangka bakal secepat ini," tanya Erlangga sambil terus mengelus perut istrinya.

"Ngapain tanya-tanya? Kemana aja semalam? Kata ayah kamu sulit dikabari, telepon nggak diangkat padahal harusnya udah pulang! Sekali diangkat tapi kelayapan mulu! Kemana?! Ke istri kedua kamu? Atau selingkuhan kamu lagi? Udah deh nggak usah kesini. Nggak guna juga kamu disini. Aku bisa kok jaga anak ini sendirian. Buktinya aku bisa jaga Rafka tanpa kamu. Pergi sana," sentak Nadira menggebu-gebu.

Erlangga hanya tertunduk dan tak mengeluarkan sepatah kata pun. Nadira menoleh ke arah Erlangga. Lebih baik ia diam daripada tersulut emosinya.

"Mas aku ngomong lho sama kamu! Aku nggak ngomong sama tembok kan?!" sentaknya lagi.

Erlangga menatap Nadira, "Udah ngomelnya? Sekarang gantian aku yang cerita,"

Nadira melengos, "Nggak usah! Kamu pergi sana. Nggak ada manfaatnya juga kamu disini. Pergi aja sama selingkuhan kamu! Aku dan anak-anak kan nggak penting buat kamu,"

Erlangga manggut-manggut, "Yaudah kalau kamu maunya aku pergi. Aku akan pergi tapi bawa Rafka,"

"Enak aja! Nggak ada ya kamu bawa pergi Rafka! Kalau mau pergi ya pergi aja sendiri! Jangan ajak anakku!" sentak Nadira.

"Kenapa nggak? Rafka kan anakku juga. Aku juga berhak atas dia. Kamu takut kebutuhan Rafka nggak tercukupi kalau hidup sama aku? Lagipula biar adil, aku sama Rafka terus kamu sama adeknya. Mau kan?" tanya Erlangga.

Nadira mulai menangis, "Nggak gitu juga. Kamu tahu aku nggak bisa jauh-jauh dari Rafka. Dia itu hidupku mas. Aku nggak bisa hidup tanpa dia,"

Erlangga menatap Nadira, "Makanya kalau ngomong jangan asal. Boleh nggak aku cerita tentang semalam?"

Nadira merengut tetapi tetap mengangguk, lalu menghapus air matanya.

"Semalam aku tuh disuruh lembur. Maaf kalau aku nggak ngabarin kamu. Pas ditelepon ayah, aku langsung bergegas kesini tapi di tengah jalan motorku mogok. Yaudah aku bawa ke bengkel dekat polsek dulu. Kata montirnya benerinnya butuh waktu lama. Terus aku mau pesan ojol tapi handphoneku mati. Yaudah aku mutusin mau pulang dulu pinjam motor si montir. Niatnya mau ambil mobil di rumah terus kesini tapi aku lihat jam udah jam delapan dan mungkin jam besuknya udah habis. Makanya aku baru bisa kesini sekarang, itupun tadi dijemput Reza di bengkel. Motorku masih disana," jelas Erlangga berbohong. Ia tak mau istrinya semakin kepikiran kalau dirinya cerita yang sebenarnya.

Nadira menatap Erlangga, "Kamu bohong. Kamu nggak cerita apa yang terjadi sebenarnya. Kamu kira aku bodoh?"

Erlangga gelagapan, "Aku cerita yang sebenarnya kok. Aku nggak bohong sayang. Mana berani aku bohong me kamu,"

"Terus kenapa harus lewat polsek? Itu tuh arahnya berlawanan dan jauh banget dari proyek kesini lho. Kamu mampir kemana dulu? Ke apart cewek lain?" tanya Nadira mengintimidasi.

Reflek Erlangga menutup mulutnya, "Bodoh banget sih gue pakai bilang polsek segala," batinnya.

Erlangga menggaruk tengkuknya, "Kelihatan banget ya kalau aku nggak pintar berbohong? Tetap aja ketahuan,"

Lima Langkah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang