34. Semua Karena Ego

53 3 0
                                    

Bisa nggak kita belajar sama-sama buang ego demi anak kita?

Happy Reading

"Dok selamatkan anak saya,"

Kalimat yang dilontarkan Nadira itu membuat Erlangga merasa sangat bersalah. Seharusnya ia bisa mengontrol emosinya. Ia menuju ke masjid yang ada di rumah sakit dan sholat untuk menenangkan dirinya.

"Ya Allah jangan Engkau ambil calon anak kami. Hamba mohon biarkan janin itu tetap hidup sampai ia tumbuh menjadi seorang anak yang sholeh sholehah. Hamba sangat merasa bersalah. Ampuni hamba Ya Allah. Hukum hamba kalau perlu tapi jangan hukum istri dan anak hamba,"

Di luar Varo mendengar semua doa yang dilontarkan Erlangga. Ia bisa melihat seberapa besar cinta Erlangga untuk Nadira.

"Kamu beruntung dapat suami setulus Erlangga, Nad. Sayangnya mata kamu belum bisa melihat cinta tulus yang Erlangga punya," ujarnya kemudian pergi.

Erlangga kembali ke IGD dan dokter Risma sudah menunggunya. Erlangga diajak bicara empat mata di ruangan dokter Risma.

"Istri saya gimana dok?" tanya Erlangga.

"Kalian sedang ada masalah?" tanya dokter Risma.

Erlangga menunduk, "Iya dok," jawabnya pelan.

"Beruntung Nadira dibawa kesini tepat waktu. Kalau tidak, janinnya bisa gugur dan nyawa Nadira juga bisa jadi taruhannya. Kondisi Nadira benar-benar down. Dia butuh support system di trisemester kehamilannya ini. Meskipun tak sadarkan diri, dia tetap mengigau tentang kamu sambil menangis. Apapun masalah kalian, lebih baik kamu yang mengalah sebelum semuanya terlambat dan kalian menyesal," jelas dokter Risma.

"Iya dok terimakasih masukannya. Apa sekarang saya boleh melihat Nadira?" tanya Erlangga.

Dokter Risma tersenyum, "Silahkan dokter Erlangga. Istrimu sudah dipindahkan ke ruang rawat. Ia harus dirawat beberapa hari disini. Satu pesan saya, buat dia sebahagia dan senyaman mungkin demi calon buah hati kalian,"

"Iya dok,"

Setelahnya Erlangga masuk ke dalam kamar rawat Nadira. Perempuan itu masih tertidur karena efek obat. Erlangga mendekat dan mengelus perut Nadira. Ia menangis tanpa suara hingga air mata mengalir deras di kedua pipinya.

"Maafin papah ya sayang. Kamu harus kuat demi mamah ya nak. Dia perempuan terhebat yang pernah papah temui," ujar Erlangga sambil terus mengelus perut dan rambut Nadira.

"Maafin aku sayang. Aku gagal jadi suami dan ayah yang baik buat kamu dan calon anak kita. Aku harap kamu kuat demi anak kita," lanjutnya.

Erlangga meletakkan kepalanya di samping lengan Nadira. Ia terus memegang jari-jari tangan Nadira seolah tak ingin melepasnya lagi.

Hingga keesokan harinya Nadira terbangun dan terkejut melihat Erlangga tidur di sebelah lengannya.

"Sejak kapan dia disini?" tanyanya seorang diri.

Nadira mengingat tentang kejadian semalam dan berusaha menggerakkan tangan kanannya yang dipegang suaminya. Hal itu membuat Erlangga ikut terbangun. Ia menggeliat sebentar.

"Kamu udah bangun?" tanya Erlangga sambil memijat tengkuk lehernya yang pegal karena salah posisi tidur.

Nadira mengamati Erlangga sejenak, "Matanya sembab. Apa dia menangis semalaman?" batinnya.

"Anakku? Dia nggak kenapa-kenapa kan?" tanya Nadira sambil menyentuh perutnya.

Erlangga tersenyum, "Dia calon anak yang hebat. Alhamdulillah dia selamat karena dia punya mamah yang hebat kayak kamu,"

Lima Langkah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang