GAB; 19

26K 1.7K 31
                                    

"Pak Guntur bisa kenalan dulu saja dengan anak saya, tidak usah buru-buru. Kita bisa jadi keluarga kan?"

Kening Guntur sempat mengerut dan ia menegakkan duduknya. Di sampingnya ada Riki, kemudian di depannya ada seorang pria paru baya dengan perut yang sudah buncit dan seorang gadis cantik. Guntur akui, gadis itu cantik dan dewasa dengan lipstik merah di bibir yang kontras sekali dengan kulitnya yang putih.

"Jika tidak ada lagi yang di bicarakan, saya anggap pertemuan ini selesai. Dan perusahaan bapak tidak cocok bergabung dengan perusahaan saya...,"

"Sebentar pak Guntur!"

"Saya tidak ada waktu untuk meladeni pak Gogon yang tidak profesional dalam bekerja."

"Apa tidak bisa di pikir-pikir dulu, anak saya cukup cantik kan?"

"Saya sudah memiliki calon istri, terimakasih."

Diam-diam Gogon mengepalkan tangan melihat Guntur dan sekretarisnya keluar dari area private tempat mereka mengadakan pertemuan dan makan malam. Sementara seorang gadis yang merupakan anak Gogon memasang wajah kesal karena Guntur menolaknya.

Ia suka pada pria itu saat ayahnya memberikan sebuah foto Guntur yang duduk di meja kerja sembari menopang dagu. Sangat tampan dan berwibawa.

"Bajingan, di kira waktu gue gak berharga kali."

"Sabar pak."

Guntur menoleh pada Riki yang ternyata mendengarnya berceloteh, ia menghentikan langkah membuat Riki juga ikut-ikutan dan menunggu apa yang akan di katakan Guntur, si pak bos yang sangat baik hati dan banyak duit.

"Maafkan saya pak." ucap Riki sebelum Guntur bersuara. Ia tahu jika ini merupakan kesalahannya, Riki tidak tau jika Gogon membawa anaknya agar Guntur lebih mudah mengiyakan agar perusahaan mereka bekerja sama.

"Pastikan Gogon tidak lagi muncul di hadapan saya."

"Baik pak Guntur."

Kemudian keduanya bertolak ke Bandara untuk pulang kembali ke Indonesia. Pertemuan yang sia-sia, tidak pernah sekalipun Guntur di permainkan seperti ini. Tidak mudah untuk membuat jadwal bersamanya, katakan dia sombong tapi memang begitu adanya.

Dua orang yang ada di depan pintu hotel menunduk sopan dan membukakan pintu mobil untuk Guntur. Riki yang berjalan di belakang pria itu menepuk pundak dan mengucapkan terimakasih atas pelayanannya selama Guntur ada di sini.

"Atas nama pak Guntur, terimakasih ya."

"Sama-sama, senang bisa bertemu kalian."

Satu di antara kedua pria yang berdiri itu mengantar Guntur dan Riki ke Bandara. Pria dewasa itu mengecek ponsel namun tidak ada balasan dari gadis kecilnya, mungkin Pasha sudah tidur di jam sepuluh malam seperti ini. Bagus, lebih baik seperti itu dari pada Pasha menunggunya sampai larut malam.

"Kita akan melewati central oleh-oleh khas Bangkok. Pak Guntur mau turun?"

Guntur menoleh pada Riki, ia sempat terdiam namun saat teringat Pasha ia mengangguk membuat Riki senang. Pasalnya ia juga akan membeli sesuatu yang di inginkan istrinya, tak enak kan jika ia menghentikan perjalanan dan bos nya tidak membeli apapun. Apalagi suasana hati Guntur tengah kesal karena pria buncit bernama Gogon Santoso itu.

Jalanan masih ramai, pria yang mengemudikan mobil mengajak mereka sebuah daerah yang tidak jauh dari jalanan umum. Disana, banyak sekali toko yang menjajakan oleh-oleh khas lokal. Pandangan Guntur tertuju pada sebuah cardigan warna biru tua. Mungkin akan cocok untuk Pasha pakai, walaupun tak mahal setidaknya ia tidak membawa tangan kosong dari sini.

"Kamu suami yang penurut ya rupanya."

Riki terkekeh mendengar penuturan Guntur, ia padahal ia hanya membeli beberapa cindera mata yang di minta sang istri. Katanya untuk pajangan di rumah. Guntur hanya mengangguk, ia membeli cardigan untuk Pasha saja dan selebihnya hanya melihat-lihat.

"Pak Guntur juga pasti seperti saya kalo sudah nikah."

"Mungkin."

"Kalau boleh saya tau pak Guntur kapan meminang Pasha?"

"Setelah dia lulus. Tumben kamu bertanya masalah pribadi saya?"

"Oh maaf pak."

Guntur hanya menggelengkan kepala, pasalnya Riki belum pernah sekalipun bertanya langsung padanya. Apalagi masalah persoalan hati. Guntur tidak tau dirinya yang terlalu cepat lahir atau Pasha lah yang terlambat datang ke dunia hingga bertemu di umur Guntur yang sudah menginjak kepala tiga bahkan lebih.

"Gapapa."

"Oh iya pak, hampir saya lupa."

"Kenapa?"

"Kemarin ada pak Reno ke kantor saat kita pergi. Dia hanya bertemu dengan resepsionis dan menitip sesuatu."

"Titip apa?"

"Titip undangan, dia juga bilang maaf tidak bisa menunggu pak Guntur karena hari itu di tengah sibuk."

"Undangan pernikahan?" tanya Guntur.

"Betul pak."

Guntur mengangguk, Reno adalah salah satu temannya yang paling dekat. Namun karena kesibukan mereka tidak bertemu lagi meski hanya sekedar mengobrol, terakhir kumpul-kumpul saat pertama kali Guntur membawa Pasha ke rumah saat gadis itu ia selamatkan.

Sementara di Jakarta, di kediaman Guntur Aska Bumi. Seorang gadis cantik masih terjaga sembari memangku toples isi kripik kentang. Ia duduk melantai sembari menonton film adaptasi dari novel milik ayah Pidi Baiq.

Kumala duduk di sofa menaikan kedua kakinya bersila, ia tidak ikut menonton, wanita itu sibuk menggulir isi ponsel yang entah melihat apa. Jika ada Guntur, wanita itu tidak pernah seperti ini. Duduk sembarangan bak tuan rumah, tapi Pasha tidak ambil pusing. Mungkin wanita dewasa itu butuh merilekskan tubuhnya.

Pasha beranjak ke dapur untuk mengambil minum, sembari bersenandung ia kembali dan tidak sengaja menendang toples isi keripik kentang yang ia taruh di lantai. Mendengar suara makanan berceceran, Kumala meletakan ponselnya kasar dan beranjak.

"Bisa gak sih diem, ganggu terus."

"Gue bisa beresin ini sendiri kali."

Pasha tidak bisa berkata-kata ketika Kumala sempat membentaknya. Meski tidak keras tapi berhasil membuat Pasha kaget, tidak biasanya wanita dewasa itu bersikap demikian, saking baiknya dulu rambutnya juga pernah di kepang oleh Kumala. Lagi-lagi, Pasha berpikir positif saja. Mungkin Kumala sedang menstruasi.

"Inget ya, kamu tuh disini bukan siapa-siapa. Pak Guntur cuma kasian sama kamu yang yatim piatu mangkanya mau ngurus kamu disini. Kamu gak usah ngelunjak sama saya!"

"Dih, emang pernah gue ngerepotin lo?"

"Sering."

"Kapan? Gue nyuci baju sendiri, nyetrika sendiri. Abis makan cuci piring sendiri. Ganti sprei sendiri, bersihin kamar juga sendiri. Karena gue tau baju gue suka lo sisihin kalo Guntur gak di rumah!"

"Bagus kalo kamu paham. Saya bekerja di sini untuk pak Guntur, bukan untuk kamu gadis jelek, miskin!"

Mata Pasha memanas, ia menatap punggung Kumala yang menjauh. Pasha berjongkok mulai memungut kripik yang ia tumpahkan. Hingga bulir air mata berhasil membasahi pipinya, kenapa Kumala jahat sekali mengatakan hal itu padanya. Saat, Guntur sering pergi ia tidak begitu peduli dengan sikap Kumala yang akan memisahkan baju kotornya dengan yang punya Guntur.

Karena ia juga tidak ingin merepotkan Kumala. Pasha sadar diri, ia hanya hidup menumpang, tapi kenapa baru sekarang Kumala memperlihatkan sikap jelek padanya. Pasha melihat langit-langit rumah, ia hanya tersenyum ketika melihat adanya kamera cctv di beberapa titik.

Apakah Pasha harus mengadukan sikap Kumala yang sempat mendorong bahunya saat akan pergi?

______

Kejutan ya, gak bakal aku kasih spoiler konfliknya.

GUNTUR ASKA BUMITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang