1. Lost Star

10K 876 72
                                    

Dukungan berupa vote, komentar, dan antusiasme kalian akan sangat berarti untuk penulis. Jangan lupa masukin A Brief Inquiry to Self Discovery ke perpus dan atau reading list kalian ya, lov!

Tulisan yang dicetak miring adalah flashback ya.

selamat membaca!

. . .

Bab 1
Lost Star

Waktu sudah menunjukan pukul dua belas malam dan Dara baru tiba di rumah akibat lalu lintas ibu kota yang tidak pernah tidur. Suara pintu mobil yang ditutup membuat tungkai Dara melangkah mengikuti jejak Papa masuk ke dalam rumah, "Interview kamu sama majalah gadis kapan?"

"Lusa." Suaranya parau didominasi kantuk. Ini akan menjadi kali pertama muka Dara menghiasi majalah. Andai saja mereka memberi kisi - kisi pertanyaan sepertinya Dara tidak akan gugup, meskipun Dara yakin sepertinya majalah akan fokus ke prestasinya di dunia musik.

Aksa membuka pintu yang menyambungkan garasi dengan pantry, kepalanya tertunduk penuh kantuk. Mempercayai langkah kakinya mengikuti gerakan Papa yang mendahuluinya masuk ke dalam rumah.

"Ibu?" Dara mendongak. Matanya melebar menangkap figur seorang wanita paruh baya yang duduk santai di meja makan. Rasa kantuknya memudar seiring jantungnya berdegup cepat merespon figur yang ia lihat. Papa berjalan mendekat meninggalkan Dara yang mematung kaku di tengah pintu masuk. "Aksa kira Ibu pulang ke rumah?"

"Rumah kamu berarti rumah Ibu juga. Tadinya Ibu mau simpan ini untuk besok, tapi sebaiknya kamu putuskan lebih cepat Aksa." Tatapan nenek tidak pernah lepas dari Dara, hatinya berkecamuk tunduk akan intimidasi yang Nenek beri.

"Dara, kemari." Iris coklatnya yang menyimpan takut tertangkap oleh Papa yang segera menengahi.

"Ibu, Dara harus istirahat, ini sudah lewat jam tidurnya." Belum, jam tidur Dara pukul dua pagi. Papa tidak tahu itu, tapi Dara tidak keberatan mengesampingkan fakta jika itu bisa menyelamatkannya dari Nenek.

"Dara, kamu serius mau jadi pianist?"

Dara seharusnya bisa menjawab lantang, itu cita - citanya. Kombinasi potensi dan bakat yang Dara yakini akan berhasil. Tapi tatapan mata Nenek terlalu tajam dan nadanya bicaranya terlalu menghakimi membuatnya tidak berdaya seakan menjawab iya adalah hal yang salah.

"Ibu, kita bisa bicarakan ini besok pagi. Dara capek, dia baru selesai tampil di orchestra setelah latihan lebih dari dua minggu-"

"Itu yang Ibu khawatirkan Aksa!" Ucapan Papa dibiarkan menggantung di udara sama halnya Dara yang tersentak melihat lonjakan emosi Nenek. "Dara terlalu fokus sama piano lebih dari yang seharusnya."

Apa yang salah dari itu? tatapannya terus berputar pada dua orang yang memancarkan ketegangan. "Ibu, kita udah bicarain ini terlalu sering." Hembusan nafas Papa terdengar jengah.

"Dara, tinggalin piano." Ultimatum itu keluar tanpa aba - aba dari mulut Nenek dan masuk ke dalam indra pendengarannya tanpa diminta. Lidah Dara kelu tidak mampu mempertanyakan keputusan yang Nenek inginkan. "Kamu terlalu fokus main piano, kesana - kemari ikut kejuaraan sampai ninggalin tugas kamu buat belajar-"

"Ibu, cukup. Dara tahu apa yang dia mau-"

"Nilai dia ga pernah berkembang, laporan belajarnya merah semua ga ada satupun nilai A. Kamu tau apa artinya Dara?" Papa tidak pernah mempermasalahkannya sehingga Dara tidak merasa bersalah. "Kamu bakal jadi orang yang gagal dengan nilai seperti itu, Dara."

Walk to 17th [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang