ini karena rata rata komennya nyogok ya buat double up, aku bakal up kalau komentarnya bisa sampe 78 sesuai umur negara ini WKWKWKK
CHAPTER 27 bakal aku up setelah komennya nyampe di angka 78 ya! Hint: chapter depan latarnya di rumah giory XIXI, pen baca gakkk??
selamat membaca
. . .
Bab 25
Define: Homy
Hidup tanpa seorang Mama dan Papa yang terlalu sibuk juga tidak pandai memasak membuat Dara tumbuh menikmati hidangan juru masak dari tahun ke tahun. Dara tidak pernah meragukan perihal rasa apalagi gizi sebab semuanya sudah diukur sedemikian rupa.
Malam ini tampaknya berbeda, Papa sudah lebih dulu duduk di meja makan ketika Dara tiba. Jadwal Papa yang padat dan bervariasi jarang memiliki titik temu dengan jadwal Dara yang monoton dan membosankan. Dara menggeser kursi menimbulkan suara decitan membuat Papa mendongak dari laptopnya.
"Papa, udah makan?" tanya Dara sambil membuka tudung saji. Menu yang dihidangkan makan malam ini adalah nasi campur bali yang berisi sate lilit, telur rebus, urap, dan lain sebagainya. Perlahan ia melirik, Papa pasti sedang merindukan Mama.
"Belum, Papa nunggu Darla." Dara mengangguk kaku, jarang sekali. Papa menyingkirkan laptopnya ke samping sebelum mengikuti gerakannya.
"Papa, dari kemarin kita makan masakan Indonesia terus. Papa ganti catering ya?" singgung Dara sedikit memancing.
"Iya, lama juga kamu sadarnya." Papa terkekeh pelan. "Papa ganti ke catering khusus masakan Indonesia, catering kita yang lama masakannya terlalu western." Pantas saja, bulan ini menu makan Dara berputar di iga bakar madu, ayam taliwang, dan pepes ikan. "Papa mau biasain kamu makan masakan Indonesia. Menurut Papa, makanan dari catering ini lebih terasa homy."
Homy? Dara belum paham istilah itu di dalam makanan. Rasanya semua makanan yang dihidangkan selalu enak di lidahnya. Dara tidak tahu harus membalas seperti apa jadi ia mengangguk saja.
Hening.
Dara menyibukan diri memakan sate lilit sama halnya dengan Papa yang menambah nasi, "Kamu sudah lihat hasil try out kamu?" Papa membuka suara.
"Peringkat 28, hehe." Dara cengengesan. Campuran rasa senang dan bangga peringkatnya naik tinggi dibanding di awal.
"Keren," kekeh Papa.
Dara agak menahan diri, tapi ia ingin mengapresiasi usaha Papa, "Berkat Papa juga sebenernya."
Alis Papa naik, "Kenapa begitu?"
"Soalnya Papa saranin Dara buat sesekali belajar di luar kamar, ternyata itu buat Dara jadi ga jenuh belajarnya, hehe. Makasih Papa." Dara tidak berani menatap mata Papa akibat malu, tapi tawa yang keluar dari mulut Papa membuat Dara mendongak senang.
"Glad, I can help." Balas Papa hangat.
"Papa, punya saran ga sekiranya apa yang perlu Dara perbaiki?" Dara tidak ingin obrolan segera berakhir, "Dara pengen dapet A di semua mata pelajaran, soalnya tahun depan Dara pengen main piano lagi." Papa menghentikan aktivitasnya menyuap nasi, "Dara pengen ikut klub musik klasik, ga perlu ikut kompetisi ke luar negeri juga gapapa kok Papa, asalkan Dara boleh main piano lagi."
"Kita coba pelan - pelan ya, Darla." Balas Papa tenang. "Daya ingat kamu kuat, Darla. Nilai kamu bagus di pelajaran biologi, sejarah, sama bahasa. Kamu cuma perlu usaha sedikit lebih banyak di ilmu eksak. Matematika itu tentang eksplorasi, daripada hafal teori lebih baik kamu pahami konsepnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Walk to 17th [TERBIT]
Teen FictionNamanya Dara Atmadja, murid baru yang menjadi topik obrolan teratas setelah wajahnya menghiasi sampul majalah. Pemenang kompetisi piano internasional yang tampak sempurna itu citranya runtuh di depan Giory Nalendra, kapten sepak bola kesayangan warg...