3. Hari dan Kali Pertama

6.5K 725 56
                                    

Dukungan berupa vote, komentar, dan antusiasme kalian akan sangat berarti untuk penulis.

selamat membaca!

. . .

Bab 3
Hari dan Kali Pertama

Selalu ada hari pertama dalam segalanya.

Di hari pertama les piano, Dara menangis karena tidak bisa membedakan nada do dan re. Di hari pertama kelas berenang, Dara meneguk terlalu banyak kaporit. Di kali pertama Dara naik pesawat, passportnya tertinggal di mobil. Terlalu banyak kenangan buruk yang Dara ingat di kala pertama dalam segalanya.

Ini hari pertama Dara mengikuti bimbingan belajar, dan ia tampak seperti anak hilang yang celingak - celinguk menunggu receptionist mencetak jadwal kelas.

"Maaf ya menunggu lama, ini jadwal kelas kamu. Pembayarannya sudah lunas sampai tahun depan dan kalau kamu berhalangan hadir bisa dijadwalkan hari pengganti. Selamat belajar." Dara mengangguk - angguk walau tidak sepenuhnya ingat.

Ini hari Senin dan di selembaran kertas yang baru ia dapat, kelas matematika tercetak jelas di daftar pertama. Pelajaran yang paling Dara benci diantara segalanya.

"Kelas saya dimana-" Kosong. Staff itu sepertinya sibuk karena selain Dara ada empat orang murid yang mengantri di belakangnya. Menghembuskan nafas, mau tidak mau Dara harus mencari kelasnya sendiri.

Kelas MH 105, Dara terus berjalan tanpa arah dan sedari tadi ruangan yang ada disekitarnya berawalan angka dua. Tidak ada satupun kelas yang berawalan angka satu.

"Cari ruang berapa?"

Dara terhenyak, kepalanya menoleh ke samping ruang yang pintunya terbuka menemukan siswa yang memakai seragam Pelita Dharma sedang berdiri di depan pintu. Iris gelap lelaki itu binarnya tampak terang akibat pantulan sinar matahari yang masuk dari jendela kelas. Mata Dara turun melihat modul science dengan label nama yang tercetak jelas di sampul,

Giory Nalendra Barlianta.

Putra Om Danu dan Tante Arum yang kebetulan menjelma menjadi kakak kelasnya di Pelita Dharma.

"Ruang MH 105, Kak." Balas Dara membaca ruang kelasnya sekali lagi.

Lelaki itu melangkah maju membuat indra penciumannya bekerja mendeteksi aroma woody dan citrus dari parfum yang Giory pakai. "Lorong ini ruang 201 sampai 205 buat kelas 11. Ruang yang lo cari ada di seberang, di samping kanan." Telunjuknya menunjuk lorong di belakang tubuhnya,

"Thank you, Kak Giory."

"Sama - sama, Dara." Balas Giory santai. Surai hitam lelaki itu acak - acakan di kala waktu menunjukan pukul empat sore, perawakannya tidak terlalu kurus, tidak juga terlalu berisi. Malahan tampak atletis.

Bukannya Dara suka mengkategorikan orang ke dalam kelompok tertentu di benaknya, tapi lelaki ini bisa dibilang masuk ke dalam kriteria lelaki idaman dalam kamus yang ia buat tanpa sadar.

. . .

Selalu ada kali pertama dalam segalanya.

Malam ini air mata Dara tumpah, menetes ke sebuah modul matematika yang baru ia dapat dari tempat bimbingan belajar. Matematika terlalu sulit baginya dan Dara tidak mau percaya menghitung perkalian saja ia masih salah. Persetan dengan teori persamaan linear, Dara tidak ingin berusaha menguasainya.

Tangisannya semakin histeris. Pensil yang ia genggam di tangan kanannya ia remat sangat kencang sampai jarinya merah. Dara bodoh, dari semua tiga siswa yang duduk di kelas matematika sore tadi hanya Dara yang tidak bisa mengikuti pelajaran. Tutor bilang Dara harus berusaha mempelajari dari dasar, dari penjumlahan bilangan plus dan minus- dari aljabar tingkat pertama.

Walk to 17th [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang