buat yang penasaran sama pov giory gimana, lets gooo scroll!
Guys mulai coba kasih komentar di setiap paragraf yuuuk?
Dukungan berupa vote, komentar, dan antusiasme kalian akan sangat berarti untuk penulis. Jangan lupa klik bintangnya ya!
selamat membaca!
. . .
Bab 16
Giory Nalendra Barlianta
Kata Giandra, kakaknya yang paling menjengkelkan dan banyak bicara, kamar Giory itu seperti toserba barang bekas. Pasalnya, terlalu banyak barang aneh yang Giory koleksi, semua jenis alat olahraga seperti raket tenis dan tongkat baseball sampai barang tidak terduga seperti teropong bintang dan tangan Iron Man ada di kamarnya.
Giory suka mencoba hal baru tapi aktivitas yang akhirnya ia lakukan berulang kali adalah olahraga, terutama sepak bola. Kata Bunda, orang yang paling hangat dan yang paling Giory sayangi, sewaktu kecil Giory senang berlari sampai Bunda pusing mengejarnya. Jadi akhirnya Bunda mendaftarkan Giory ke akademi sepak bola anak agar bisa berlarian sepuasnya di lapangan.
Itu adalah salah satu hal yang paling Giory syukuri, berkat Bunda ia bisa menjadi pemain unggulan di klub sepak bola sekolah karena Giory sudah menguasai dasar permainannya sejak kecil.
Kata Ayah, orang yang paling tenang dan yang paling Giory kagumi, Giory banyak berkembang lewat sepak bola. Lewat kemenangan yang selalu ia raih bersama teman - teman setimnya yang jaringan komunikasinya sudah saling terhubung mencipta permainan apik di setiap laga. Semasa SMP, Giory merasa kemenangan adalah segalanya sampai di hari kepercayaannya runtuh.
"Gue kasih bola ke lo. Ga ada yang jaga di daerah lawan, kiper mereka lagi ga siap, dan lo!" Nafas Giory terengah - engah, "Dan lo nendang sembarangan sampai tim kita kalah! Padahal lo berdiri di posisi yang bagus buat cetak gol, Marco! Gara - gara lo ngebuang kesempatan kita jadi gagal buat dapet juara satu nasional."
"Ga semua orang punya skill main bola yang sama kaya lo, Giory! Ga semua orang mampu buat cetak gol kaya lo! Daripada nyalahin orang lain, lakuin sendiri kalau lo mau hasilnya sesuai sama yang lo mau, brengsek!"
Giory berubah sejak hari itu. Giory terbiasa menang, sampai rasanya kalah terlalu menyakitkan. Selama ini Giory sudah membuka jalan agar rekan setimnya dapat mencetak gol, tapi usaha Giory tidak berarti ketika rekan setimnya tidak dapat meneruskan kerja kerasnya. Giory membawa bola jauh ke daerah lawan dan berakhir di sia - siakan karena ketidaksiapan temannya menerima bola. Giory kalah, bukan karena dirinya, tapi akibat rekan setimnya yang tidak becus.
Di masa jabatannya sebagai kapten sepak bola SMA Pelita Dharma, Giory seperti dikutuk. Keraguan yang sempat menyertainya di lapangan, menjadi sebuah bumerang kekacauan yang dapat mengantarkannya ke dalam kekalahan, sebuah kata yang paling Giory benci.
. . .
Setelah perseteruan yang sengit, kepala Giory tertunduk menyusuri lorong menuju area parkir. Sekolah sudah cukup sepi, hanya tersisa panitia yang masih berunding mengenai pertandingan di lain hari.
Pertandingan hari ini dimenangkan oleh tim Dharma dengan skor tipis 3-2. Ia berhasil menyumbang dua gol untuk Dharma. Untuk pertama kalinya, Giory merasa kemenangan tidak ada maknanya. Ia berhasil membawa tim ke babak delapan besar ditukar dengan rasa kekeluargaan tim yang ada di ujung jurang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Walk to 17th [TERBIT]
Dla nastolatkówNamanya Dara Atmadja, murid baru yang menjadi topik obrolan teratas setelah wajahnya menghiasi sampul majalah. Pemenang kompetisi piano internasional yang tampak sempurna itu citranya runtuh di depan Giory Nalendra, kapten sepak bola kesayangan warg...