33 - Re-define: Home

4.6K 672 210
                                    

hiiii there! hope u still here

chapter ini panjang jadi jangan lupa vote dan komen yeahhh, love yew

. . .

Bab 33

Re-define: Home

"Laporan belajar kamu ga berkembang tapi kamu udah berani main piano lagi di publik. Kamu harus segera pindah ke Inggris, Dara." Air matanya sudah kering sejak lama. Waktu berjalan sangat lambat ketika Dara memasuki kediaman Wiratmadja yang hanya dikunjungi selama satu tahun sekali. Mulutnya terkatup rapat, tidak ada satupun kata yang ingin ia utarakan selain umpatan kasar untuk keadaan yang tidak memihaknya.

"Greta," asisten pribadi Nenek itu sepertinya menikmati bagaimana Dara tersudutkan oleh segala ucapan Nenek yang menyakiti hatinya. "Hubungi agen untuk daftarkan sekolah Dara di London." Tangan Dara mengepal di pangkuan, tenggorokannya sudah kering setelah setelah menghabiskan satu jam penuh membela dirinya sendiri. "Urusi semua berkas dan buatkan visa untuk dia, selesaikan dalam tiga bulan atau lebih cepat. Hubungi juga media, bilang kalau Dara tidak akan melanjutkan karir piano nya, bilang saja tangannya cedera serius-" Dara bangkit dari duduk, emosi yang menguasai dirinya sudah tidak tertahan.

"NENEK!" Tenggorokannya yang serat mengakibatkan suaranya pecah, "Apa ga cukup buat Dara berhenti main piano ketika Dara lagi ada di puncak? Dara lagi berusaha belajar buat bikin nilai Dara A semua, kayak apa yang Nenek mau. Tolong jangan sentuh karir Dara sedikit pun!" Matanya menatap nyalang pada orang yang Dara benci kehadirannya.

Nenek membuang tatapannya setelah Dara menyelesaikan kalimat. Hatinya mencelos, segala emosi dan kalimatnya tampak tidak ada artinya, "Buat surat dokter untuk menunjang pernyataan kita-" PRANG!

Dara melempar gelas ke dinding sampai bunyinya yang nyaring terdengar memekakan telinga, "DENGERIN DARA!" Teriaknya pilu. Dara berhasil mendapat atensi dari semua orang yang ada di ruangan. Nenek, Greta, pengawal, dan asisten rumah tangga semuanya menatap Dara dengan mata melebar dan mulut terbuka layaknya menyaksikan seorang gadis gila yang kehilangan akal, "Dara bakal bakar rumah ini kalau Nenek sentuh karir yang Dara bangun sejak kecil! Kalau Nenek ga punya minat sama apa yang Dara lakuin anggap aja Dara udah ga ada, coret aja Dara dari semua daftar keluarga yang Nenek punya!"

Ada percikan amarah di raut Nenek ketika Dara melihatnya beranjak mendekat, "Mama kamu lahirin kamu sampai meregang nyawa dan balasan kamu kaya gini?"

"Salah," sanggah Dara emosi. Filtrasi bibirnya sudah tidak bekerja lagi, "Mama lahirin Dara sampai meregang nyawa dan Nenek perlakuin Dara kaya gini!" Hatinya dikendalikan oleh nafsu.

Dara membenci tata ruang tidak berarti yang Giory terjemahkan sebagai rumah. Tata ruang milik keluarga Wiratmadja tidak punya kenangan untuk dirayakan, "Nenek ga perlu anggap Dara bagian dari Wiratmadja lagi mulai sekarang." Final.

Nenek menatapnya datar, kepalanya menoleh pada Greta yang berdiri dalam diam, "Turuti permintaannya," ucap Nenek tidak punya hati.

"Permintaan Dara yang mana Ibu?" Air matanya yang turun membasahi pipi dapat dilihat jelas oleh seseorang yang melangkah memasuki kediaman Wiratmadja. "Permintaan Dara yang ingin main piano lagi maksudnya?" Seorang wanita yang usianya terpaut dua tahun dari Papa datang tanpa mengetuk pintu.

"Permintaan Dara yang minta dicoret dari semua dokumen Wiratmadja."

"Jahat banget, Bu." Gelengnya pelan, wanita itu duduk di sofa sambil menuangkan teh ke gelas kosong. "Mbak dibilang ga tau diri karena ngejar mimpi, Aksa juga ditendang dari rumah waktu main band. Terus sekarang cucu Ibu yang jadi target selanjutnya? Ibu sabotase Dara hanya karena Dara pandai main piano?" Wanita itu menyesap tehnya, meninggalkan pertanyaan yang tidak kunjung mendapat jawaban. Dara terus mengamati pergerakannya yang kelewat santai padahal pecahan gelas kaca sudah berserakan di lantai, "Kalau Ibu masih berlaku kaya gini, jangan tanya lagi kenapa anak - anak Ibu ga suka pulang ke rumah."

Walk to 17th [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang