33. D-Day

2.5K 270 0
                                    

Ternyata goals part sebelumnya udah lama tercapai, ya ... maaf ya baru bisa update lagi.

Sebagai gantinya, aku langsung update 2 part hari ini. 😄

Happy Reading.

***

Hari ini adalah hari di mana Haiden akan melaksanakan tes DNA yang sudah diperbincangkan beberapa hari yang lalu. Johan dan Anto bersepakat untuk melakukannya hari ini.

Sudah dari 5 menit yang lalu, Haiden terus menatap pantulan dirinya di dalam cermin, tak ada senyum sedikit pun dari bibirnya.

Sejujurnya Haiden sangatlah gugup, dalam hatinya ia merasakan perasaan yang cukup campur aduk. Ia senang jikalau Anto dan Almira adalah orang tua kandungnya, tetapi ia tidak mau munafik jika ia sudah sangat nyaman dan menyayangi keluarga angkatnya.

Dan rasa sedih pun muncul jika Haiden harus benar-benar meninggalkan keluarga Adibrata.

Tok ... tok ... tok.

Suara ketukan pada pintu kamarnya menyadarkan lamunan Haiden. Remaja laki-laki itu pun bangkit dari duduknya, berjalan menuju pintu, lalu membukanya.

Wajah datar milik Nathanlah yang terpampang begitu Haiden membukakan pintu.

"Turun, ditunggu Ayah," ucap Nathan singkat, lalu pergi begitu saja tanpa menunggu respon Haiden.

Dari awal pertemuan sikap Nathan memang selalu sarkas terhadap Haiden, tetapi Haiden tahu jika Nathan peduli padanya dan sudah menganggapnya sebagai saudara kandungnya sendiri.

Namun, sejak keputusannya untuk melakukan tes DNA dengan Anto, semuanya berubah. Nathan terlihat jauh lebih dingin dan cuek, begitupun dengan anggota keluarga Adibrata yang lainnya.

Tidak mau membuat Johan menunggu lebih lama lagi, Haiden pun segera keluar dari kamar dan menemui Johan. Hari ini memang katanya Johan yang akan mengantarkan Haiden menuju rumah sakit untuk melakukan tes DNA. Kebetulan juga Johan hari ini mengambil jatah cuti tahunannya.

"Siap?" tanya Johan begitu Haiden sudah berada di lantai bawah.

Di ruang tengah rumah besar itu, Haiden hanya melihat Johan, Agatha, dan Nathan yang sedang duduk di sofa. Ia tidak tahu ke mana perginya Rendra dan Jason.

"Siap, Yah," jawab Haiden.

Johan pun bangkit dari duduknya, ia melangkah lebih dulu setelah berpamitan kepada Agatha dan juga Nathan. Sementara Haiden masih di dalam, berniat untuk menyalami Agatha.

Agatha tidak menolak saat Haiden menjulurkan tangannya, tetapi tatapan wanita itu tak beralih sedikit pun dari majalah yang ada di pangkuannya, seakan ia tidak mau menatap Haiden. Seperti ada sesuatu yang menimpa dadanya setiap kali Agatha cuek terhadapnya, karena biasanya wanita itu akan bersikap begitu lembut meskipun Haiden melakukan kesalahan kecil.

"Haiden pergi dulu, Bun, Nath," ucap Haiden yang sama sekali tak mendapat balasan. Ia pun segera melangkah pergi menyusul Johan.

***

Tak pernah sekalipun selama Haiden hidup dan tinggal bersama keluarga Adibrata merasakan canggung seperti saat ini, di awal pertemuan mereka pun tak secanggung ini.

Haiden hanya diam duduk di kursi samping kemudi dengan tatapan tak beralih dari jendela sejak ia memasuki mobil, sementara Johan pun tetap fokus menyetir.

Drrtt ... drrtt ....

Suara ponsel yang bergetar memecahkan keheningan antara Haiden dan Johan. Haiden melirik ke arah kanan, ternyata suara getaran tersebut berasal dari ponsel Johan.

HAIDENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang