8. Rumah Sakit

5.4K 395 0
                                    

Jangan lupa vote, ya!

Happy Reading

***

Kedua mata itu mengerjab perlahan sampai akhirnya bisa terbuka seutuhnya. Aroma khas obat-obatan, menusuk hidungnya, Haiden sadar saat ini ia sedang berada di rumah sakit.

Setelah beberapa kali mengedip untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke mata, akhirnya Haiden bisa berhasil membuka kedua matanya. Kepalanya terasa sangat pening begitu kedua matanya sudah terbuka sepenuhnya.

Perlahan kepalanya menengok ke arah kanan dan kiri berusaha menemukan seseorang yang mungkin saja membawanya ke tempat ini. Namun, nihil tidak ada satu pun orang yang bersamanya saat ini.

Ingatan Haiden kembali berkelana sesaat sebelum ia berakhir di rumah sakit, lima orang preman menyerbunya dan merampas sisa uang yang ia miliki malam itu.

Haiden menghela napas, beruntung ia ditemukan seseorang—mungkin—karena jika tidak, siapa yang membawanya ke rumah sakit? Haiden harus berterima kasih pada orang itu.

Haiden juga kembali mengingat saat kesadarannya masih ada malam itu, seseorang berlari ... ah tidak, bukan seorang, Haiden mendengar beberapa langkah kaki yang berlari ke arahnya. Ia tidak tahu ada berapa orang saat itu yang menghampirinya.

Ketika sedang berkecamuk dengan pikiranya, tiba-tiba pintu ruangan terbuka menampilkan seorang dokter dengan jas putih khasnya, bersama dengan seorang perawat yang berjalan di belakangnya.

"Selamat pagi, Haiden," sapa dokter itu dengan senyum ramah.

"Pagi, Dok," sapa Haiden balik dengan suara lemah karena ia masih merasakan nyeri di seluruh tubuhnya akibat pukulan-pukulan yang diberikan semalam.

"Bagaimana kabarnya hari ini?" tanya dokter itu sambil mempersiapkan stetoskopnya untuk memeriksa Haiden.

Seorang perawat yang bersama dokter itu juga memeriksa jalur infus agar alirannya sesuai dengan kebutuhan infus Haiden saat ini.

Haiden mencoba tersenyum walau kedua sudut bibirnya terasa perih, lalu ia mengangguk.

"Baik, keadaan kamu hari ini sudah membaik. Hanya saja mungkin di beberapa bagian akan terasa nyeri, terutama di bagian perut yang lumayan lebam," jelas dokter itu setelah selesai memeriksa keadaan Haiden.

Haiden kembali mengangguk dan mengucapkan terima kasih kepada dokter tersebut. Namun, ada rasa penasaran yang bersarang dalam pikirannya sejak tadi. Maka Haiden memilih untuk bertanya kepada dokter tersebut.

"Dok, maaf mau tanya. Dokter tau siapa orang yang membawa saya ke sini?" tanya Haiden.

Dokter itu masih menampilkan senyum ramahnya. "Nanti kamu akan tahu."

Setelah itu dokter dan perawat yang memeriksa Haiden pun berpamitan untuk pergi karena tugas mereka sudah selesai.

Haiden sedikit mendengus karena sang dokter malah merahasiakan orang yang menolongnya. Sungguh Haiden masih sangat penasaran siapa orang itu, ia ingin cepat mengatakan terima kasih. Kalau saja orang itu tidak menolongnya mungkin saat ini Haiden sudah bertemu dengang sang nenek di surga.

Pegal, itu yang dirasakan Haiden karena terlalu lama merebahkan diri. Ia oun beranjak duduk, setelah menekan sebuah tombol pada sisi ranjangnya agar sandaran ranjang itu bisa berdiri tegak sehingga Haiden bisa menyandarkan punggungnya.

Bersamaan dengan itu pintu ruangan kembali terbuka, kali ini menampilkan sosok seseorang yang sangat Haiden kenali.

"Bang Jason?" Haiden begitu terkejut melihat sosok pelatihnya itu. Ia jadi berpikir mungkin Jasonlah yang menyelamatkan dirinya.

Jason tersemyum simpul, lalu ia meletakkan satu keranjang buah-buahan yang sengaja dibawanya untuk diberikan kepada Haiden.

"Gimana keadaa lo hari ini?" tanya Jason.

"Baik, Bang," jawab Haiden. "Bang Jason yang nolongin Haiden?"

Jason tidak langsung menjawab, laki-laki yang berstatus mahasiswa itu duduk di samping ranjang yang Haiden tempati, lalu menggelengkan kepalanya.

"Bukan, tapi bokap gue," jawab Jason akhirnya.

Haiden bingung, bagaimana bisa ayah dari pelatihnya itu yang menolongnya. Ah ... mungkin bisa saja karena tempat kejadian semalam itu adalah jalanan umum, siapa saja bisa melewati jalan tersebut, sehingga Haiden berpikir ayah dari Jason tidak sengaja lewat dan menolong dirinya. Ia sudah melupakan fakta tentang ia mendengar beberapa orang yang berlari ke arahnya, mungkin saja itu hanya perasaan Haiden.

"Haiden mau bilang makasih, boleh Haiden ketemu sama papanya Bang Jason?" tanya Haiden dengan raut berharap.

Jason yang masih menampilkan senyumnya itu, mengulurkan tangannya ke arah Haiden, lalu membenarkan letak poni anak itu yang menutupi dahinya.

Deg.

Entah perasaan apa ini, ketika Jason merapikan sedikit rambutnya jantung Haiden jadi berdetak tak karuan. Bukan! Bukan Haiden memiliki perasaan suka terhadap pelatihnya itu, ia hanya merasakan perasaan aneh dan juga kaget dengan perlakuan Jason yang tiba-tiba. Tenang saja, Haiden masih normal dan suka perempuan.

"Boleh dong, nanti mereka datang ke sini," ucap Jason.

Haiden tidak mengerti mereka yang dikatakan oleh Jason. Haiden hanya ingin bertemu dengan ayah Jason untuk mengucapkan terima kasih, bukan ingin bertemu yang lainnya.

"Udah minum belum?" tanya Jason lagi yang dijawab gelengan oleh Haiden.

Dengan sigap Jason mengambil gelas berisi air mineral di samping nakas ranjang rumah sakit, ia membantu menyodorkan sedotan ke dekat mulut Haiden.

Haiden menerimanya dengan senang hati karena sejak tadi ia memang sudah haus, tetapi di sisi lain Haiden bingung dengan perlakuan Jason yang terlihat sangat memperhatikannya, padahal Jason terkenal dengan sikap cuek dan dinginnya.

"Bang Jason gak ngelatih di sekolah?" Kali ini Haiden yang bertanya.

Kalau Haiden tidak salah ingat hari ini memang jadwalnya latihan basket, dan seharusnya latihan sudah dimulai sejak tadi setelah Haiden melirik jam dinding yang tertempel di dekat televisi. Tunggu, Haiden baru sadar jika di ruang rawat inapnya itu ada sebuah televisi dan hanya ranjang dirinya saja yang ada, itu berarti kamar yang Haiden tempati adalah kamar VIP, bukan?

"Libur dulu, sengaja. Abang mau nemenin kamu," jawab Jason dengan gaya bicara yang berubah.

Haiden kembali terkejut, ia menatap Jason dengan kedua alis bertaut.

"Gimana, Bang?" tanya Haiden, memastikan jika dirinya tidak salah dengar.

"Libur dulu latihannya. Pertandingan emang beberapa hari lagi, tapi kalian juga pasti butuh istirahat, 'kan? Jadi, libur aja buat hari—"

"Bukan, Bang. Bukan itu," ucap Haiden setelah memotong pembicaraan Jason.

"Apa?"

"Maksud Haiden, Bang Jason tadi bilang apa setelah libur dulu?"

Jason pun mengangguk setelah mengerti pertanyaan Haiden. "Iya, Abang mau nemenin kamu di sini."

"Abang? Kamu?" gumam Haiden dengan suara rendah, kedua matanya masih menatap Jason.

"Gak masalah kan kalau Abang nyebut 'kamu'?"

Oke, cara panggilan itu memang tidak masalah bagi Haiden, hanya saja dia menjadi bingung dengan perubahannya yang tiba-tiba.

"Gak usah dipikirin, Abang cuma pengen lebih deket aja sama kamu," ucap Jason sambil mengusap kepala Haiden.

Baiklah mulai saat ini Haiden akan berusaha menerima perubahan sikap Jason.

Cklek.

Terdengar suara pintu yang kembali terbuka. Sosok pria bertubuh tinggi memasuki ruang perawatan Haiden, tak hanya sendiri ia datang bersama seseorang di belakangnya.

Entah sudah berapa kali Haiden terkejut dan kaget hari ini, padahal ia baru saja tersadar dari pingsannya.

"Hai, Haiden!"

Bersambung ....

Lanjut besok, jangan lupa vote dan kemennya^^.

HAIDENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang