43. Kabur

4.1K 349 31
                                    

Jangan lupa vote, komen, dan follow, ya!

Happy Reading

***

Haiden termenung dengan menatap ke arah luar jendela, gordennya sejak tadi memang sengaja ia buka bahkan pintu ke arah balkon kamarnya pun ia buka membuat Haiden merasakan angin malam yang berhembus menerpa tubuhnya.

Lalu, matanya melirik ke arah jam dinding yang diletakkan tepat di atas meja belajarnya. Di sana waktu menunjukkan pukul 23.55, 5 menit lagi hari akan berganti.

Setelah acara melamunnya, Haiden pun bangkit. Ia berjalan mendekati meja belajar, lalu mengangkat sebuah tas ransel yang terlihat penuh.

Jika kalian pikir Haiden maka akan pergi, maka kalian benar. Malam ini Haiden memutuskan untuk pergi dari rumah yang selama ini hanya membuatnya tersiksa. Haiden juga mengacuhkan segala ancaman Anto untuk tidak pergi dari rumah.

Lagi pula untuk apa lagi Haiden berada di rumah besar itu karena nyatanya ia bukanlah siapa-siapa.

Dengan penuh tekad dan keberanian, Haiden keluar melalui balkon. Kedua kaki dan tangan Haiden sangat lihat saat menapaki dan memegang pagar pembatas balkon agar bisa turun.

Haiden berhenti sejenak, ia melirik ke arah bawah yang ternyata lumayan tinggi, mungkin tingginya sekiar 4 atau 5 meter.

"Tinggi juga," gumam Haiden.

Meskipun sempat merasakan takut, akhirnya Haiden pun melepaskan pegangan dan pijakannya.

Brug.

Tubuh yang masih terasa ngilu dan wajah penuh lebam itu pun terjatuh tepat di atas tanah berumput, beruntung rumput-rumput itu sangat lebat sehingga tubuh Haiden tidak langsung bersentuham dengan tanah yang berbatu. Namun, tetap saja terasa sakit.

Sambil meringis Haiden pun bangkit berdiri. Beruntung ia tidak mengalami patah tulang akibat melompat dari ketinggian yang cukup tinggi.

Setelah itu Haiden melirik ke kanan, ke kiri, dan ke belakang berharap tidak ada orang yang mendengarnya terjatuh tadi. Ketika sudah yakin tidak ada orang di sekitarnya, Haiden pun berjalan menuju pintu belakang rumah keluarga Daraga. Setelah ini ia akan kembali memanjat tembok untuk kabur.

Sejujurnya Haiden tidak tahu harus pergi ke mana karena ia sekarang tidak mempunyai tempat tinggal, tetapi yang pasti Haiden harus segera pergi.

***

"Antarkan makanan untuk anak itu," ucap Anto memerintahkan seorang pelayan untuk mengantarkan makanan. Pelayan itu pun mengerti dengan 'anak itu' yang di maksud oleh majikannya, maka ia segera pergi ke lantai dua untuk memnawakan Haiden makanan.

Setelah melihat kepergian pelayan yang dititahnya, Anto pun menatap ke arah anaknya, Dave, yang sedang fokus dengan sarapannya.

"Gimana sekolah kamu, Dave?" tanya Anto.

Dave pun mendongak menatap ke arah sang ayah. "Baik kok, Pa."

"Oh iya, gimana sama ujian kemarin, lancar?" Kali ini Almira yang bertanya.

"Lancar, Ma. Nilainya juga langsung diumumin, Dave dapet nilai tertinggi di kelas," ucap Dave dengan nada bangga, ia ingin orang tuanya juga merasakan kebanggaan itu.

Almira bersorak senang mendengarnya, ia langsung memeluk anaknya itu dari samping sambil berkata, "Hebat banget anak Mama."

Sementara Anto yang melihat interaksi keduanya pun hanya tersenyum tipis.

HAIDENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang